Tuesday, February 27, 2018



PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG
            Ilmu Tajwid memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tata cara membaca Al- Qur’an. Singkatnya ilmu ini membahas kaidah pelafalan dan pembacaan suatu huruf dengan benar. Sedangkan ilmu Nagham adalah ilmu membaca Al Qur’an dengan nada tertentu yang bertujuan untuk memperindah pelafalan AlQuran.
            Tidak dipungkiri bahwa kedua cabang ilmu ini sangat populer dan banyak dipelajari oleh kaum Muslimin. Di samping karena sebagai langkah awal dan batu loncatan dalam kaidah membaca Al Qur’an dengan baik dan benar, juga karena kedua cabang ilmu ini saling berhubungan satu sama lain bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
            Namun seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat awam yang salah dalam menerapkan pembelajaran diantara kedua bidang ini. Antara mana yang paling penting dan harus didahulukan. Oleh karenanya makalah ini pun hadir sebagai media pembuka tentang pembahasan tentang materi tersebut secara ringkas dengan harapan mampu menarik pembahasan-pembahasan dari pihak lain yang lebih terperinci.


PEMBAHASAN


A. Ilmu Tajwid; Definisi dan Hukum Mempelajarinya.

1. Pengertian Ilmu Tajwid
Tajwid secara bahasa berasal dari kata jawwada, yujawwidu tajwidan yang artinya membaguskan atau membuat jadi bagus. Dalam pengertian lain menurut lughoh, tajwid dapat pula diartikan sebagai:

الإتيان بالجيد
sesuatu yang mendatangkan kebajikan
Sedangkan pengertian tajwid menurut istilah adalah:

علم يعرف به إعطاء كل حرف حقه و مستحقه من الصفات والمدود و غير ذلك كاالترقيق والتفخيم ونحوحما

Ilmu yang dengan ilmu tersebut diberikan segala pengertian tentang huruf, baik hak-hak huruf (haqqul harf) maupun hukum-hukum baru yang timbul setelah hak-hak huruf (mustahaqqul harf) dipenuhi yang terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum-hukum mad, dan lain sebagainya. Sebagai contoh tarqiq, tafkhim dan yang semisalnya.”

Ilmu Tajwid menurut istilah adalah “suatu ilmu pengetahuan cara membaca al-Qur’an dengan baik dan tertib menurut makhrojnya, panjang pendeknya, tebal tipisnya, berdengung atau tidaknya, irama dan nadanya, serta titik komanya yang sudah diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya”.[1]
 Dapat disimpulan bahwa Ilmu Tajwid ini sangat penting bagi para pembaca al-Qur’an sebagai pengantar membaca al-Qur’an yang benar, karena tanpa ilmu tajwid seseorang yang membaca al-Qur’an akan terkesan seenaknya sendiri tidak ada bedanya seperti ketika ia membaca bacaan yang lain. Oleh karenanya, untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an maka dibutuhkan pemahaman ilmu tajwid yang cukup mendalam.

            2. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Adapun menyoal hukum dalam mempelajari ilmu tajwid sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya wajib. Dengan alasan firman Allah surat al Muzammil ayat 4 yang artinya “atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa dalam membaca Al Qur’an haruslah sesuai dengan aturan yang yang telah ditentukan, yaitu ilmu tajwid. Berhubung membaca Al Quran (Al fatihah) merupakan bagian dari rukun sholat yang wajib dilakukan dan di sisi lain cara membaca Al Quran harus sesuai tajwid, maka belajar tajwid sangat dianjurkan. Dalam hal ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah ditanya mengenai maksud membaca Al Quran dengan Tartil, beliau mmenjawab:

هو تجويد الحروف ومعرفة الوقوف
Tartil adalah membaguskan huruf-huruf dan mengetahui tempat-tempat waqafnya.”

Imam Al Jazary berpendapat dalam kitabnya Muqaddimah “Membaca Al-Quran dengan tajwid adalah fardhu ‘ain, siapa yang tidak membacanya dengan tajwid adalah orang yang berdosa karena Allah SWT menurunkannya dengan tajwid dan Al-Quran sampai kepada kita dengan tajwid pula”. Ciri khas dari Tajwid adalah tilawah sekaligus tanda suara dan Qiraat.”.[2]  pendapat terebut menunjukkan bahwa menurut Al Jazary hukum membaca Al Quran sesuai tajwid adalah wajib.
Hukum mempelajari ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu adalah fardhu kifayah atau bisa dikatakan kewajiban kolektif. Adapun hukum membaca Al Quran dengan memakai aturan-aturan tajwid adalah fardhu ‘ain atau merupakan kewajiban pribadi. Dalam kitab Hidayatul Mustafid di Ahkamit Tajwid dijelaskan:
التجويد لا خلاف في انه فرض كفاية والعمل به فرض عين على كل مسلم و مسلمة على كل مكلفين
Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya (mempelajari) ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah. Sementara mengamalkannya hukumnya fardhu ain bagi setiap muslim dan muslimat yang telah mukalaf”.[3]
                      
B. Nagham Al Qur’an dan Sejarah Perkembangan.

1. Definisi Nagham
Kata Naghom secara etimologi paralel dengan kata ghina yang bermakna lagu atau irama. Secara terminologi Naghom dimaknai sebagai membaca Al Qur’an dengan irama (seni), atau suara yang indah dan merdu, atau melagukan Al Qur’an secara baik dan benar tanpa melanggar aturan-aturan bacaan.  

2. Sejarah Perkembangan
Keberadaan ilmu Naghom, tidak sekedar realisasi dari firman Allah dalam surat Al Muzzammil ayat 4وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً ………. “ ” Bacalah Al Qur’an itu secara tartil ”, akan tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk Naghom) merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Naghom merupakan salah satu dari sekian ekspresi seni yang menjadi bagian integral hidup manusia. Bahkan Naghom ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya Naghom Al Quran.   Pertama: Naghom Al-Qur’an berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua: Naghom terinspirasi dari nyanyian orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang.
            Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al Qur’an berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Al-Quran idealnya bernuansa irama Arab. Karena itu tidak bisa Naghom Al-Qur’an itu di pribumisasikan, seperti menggunakan langgam lagu es lilin, dendang gulo atau irama dangdut.
            Meski kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja muncul permasalahan. Jika memang benar Naghom Al-Qur’an berasal dari seni Arab lalu siapakah yang pertama kali mengkonversikannya untuk lagu Al Qur’an ? Sampai di sini ada ketidak jelasan. Dan lagi, jika memang benar informasi Al Qur’an berasal dari nyanyian, tentu dapat direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, Naghom Al Qur’an sangat sulit ditransfer ke dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme inilah kemudian yang “memaksa” bahwa metode sima’I dan talaqqi, merupakan satu-satunya cara dalam mentransmisikan lagu-lagu Al Qur’an.
            Pada zamannya Rasulullah SAW adalah seorang Qari’ yang membaca Al Qur’an dengan suara indah dan merdu. Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrsikan suara Rasulullah dengan terperanjatnya unta yang ditunggangi Nabi ketika Nabi melantunkan surat Al Fath. Para sahabat juga memiliki minat yang besar terhadap ilmu Naghom ini.
            Sejarah mencatat sejumlah sahabat yang berpredikat sebagai Qari’, diantaranya adalah : Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari. Pada periode tabi’in, tercatat Umar bin Abdul Aziz dan Safir Al Lusi sebagai Qari’ kenamaan. Sedangkan periode tabi’ tabi’in dikenal nama Abdullah bin Ali bin Abdillah Al Baghdadi dan Khalid bin Usman bin Abdurrahman.
            Kendati di masa awal Islam sudah tumbuh lagu-lagu Al Qur’an, namun perkembangannya tidak bisa dilacak karena tidak ada bukti yang dapat dikaji. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu belum ada alat perekam suara. Transformasi seni baca Al Qur’an berlangsung secara sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi.
            Dalam sejarah juga tidak tercatat perkembangan pasca tabi’in. Apresiasi terhadap seni Al Qur’an semakin tenggelam seiring dengan semakin maraknya umat Islam melakukan olah akal (berfilsafat), olah batin (tasawwuf), dan olah laku ibadah (fiqh). Selain itu, yang paling mendasar menyangkut dengan Naghom Al-Qur’an ini, dibutuhkan kemampuan khusus untuk masuk dalam kualifikasi Qari’, terumata menyangkut modal suara. Modal ini lebih merupakan hak periogratif Allah untuk diberikan kepada yang dikehendaki-Nya.
            Pada abad ke-20, lagu-lagu Al-Qur’an mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di Timur Tengah, kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Al Quran.

            Ditinjau dari penerapan Naghom Al-Qur’an ini, ada dua versi yang berkembang, yaitu versi Makkawi dan versi Mishri. Lagu versi Makkawi sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia, karena liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud dalam barzanji. Beberapa Qari’ yang menjadi eksponen aliran ini adalah : KH Arwani, KH Sya’roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha, dan KH Azra’i Abdurrauf.
            Memasuki paruh abad 20, seiring dengan eksebisi Qari’ Mesir ke Indonesia, mulai marak perkembangan lagu versi Mishri. Pada tahun 60-an pemerintah Mesir mensuplai sejumlah maestro Qari’ seperti, Syeikh Abdul Basith Abdus Shomad, Syeikh Musthofa Ismail, Syeikh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syeikh Abdul Qadir Abdul Azim. Animo dan atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Mishri demikian tinggi. Hal ini disebabkan karakter lagu Mishri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan kondisi alam Indonesia.
            Sejumlah qari’ yang menjadi elaboran lagu Mishri ini adalah : KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma’mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
            Seni baca Al Quran baru menampakkan geliatnya pada awal abad 20 M yang berpusat di Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk Naghom) Al-Qur’an
            Hingga hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia. Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam tradisi Makkawi (Makkah) dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Maya, Rakby, Jiharkah, Sika, dan Dukkah. Sementara, dalam tradisi Misri (Mesir) terdapat Bayyati, Hijaz, Shobah, Rashd, Jiharkah, Sika, dan Nahawand.
           

C. Hukum Mendahulukan Nagham daripada Ilmu Tajwid Ketika Membaca Al Qur’an.

1. Hukum Memakai Nagham tanpa Ilmu Tajwid

            Al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang memiliki kesempurnaan yang tidak pernah ada pada kitab-kitab yang lain. Diantaranya adalah memiliki seni yang sangat indah dalam membacanya. Keindahan tersebut tentunya tidak terlepas dari kaidah-kaidah bacaan yang dikenal dengan ilmu Tajwid. Ketika kaidah-kaidah bacaan tersebut masuk dan menyatu dengan bacaan huruf Al-Qur’an, dengan sendirinya keindahan dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an semakin bagus. Karena bagus tidaknya bacaan Al-Qur’an sangat ditentukan oleh kaidah-kaidah bacaan. Oleh karena demikian, keberadaan ilmu tajwid dalam Nagham Al-Qur’anbenar-benar tidak boleh ditinggalkan. Seni tersebut akan terbentuk dengan penerapan kaidah-kaidah bacaan dengan benar. Jika kaidah-kaidah tersebut tidak diterapkan dalam melafalkan huruf-huruf Al-Qur’an, maka selain merusak bacaan, juga akan merusak makna yang dimiliki oleh lafaz tersebut.[4]

            Dari dua pemaparan di sub-bab sebelumnya perihal Ilmu Tajwid dan Nagham, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa kedua cabang ilmu tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Namun, yang paling utama dan harus diutamakan dari kedua cabang ilmu tersebut adalah Ilmu Tajwid, sedangkan posisi nagham hanyalah sebagai penyempurna dan pelangkap. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan apabila seseorang mendahulukan belajar nagham saja tanpa memepelajari Ilmu Tajwid. Apalagi seandainya membaca Al-Qur’an hanya dengan Nagham tanpa memakai Ilmu Tajwid sudah jelas bahwa hukumnya bisa terindikasi haram.

2. Hukum Memakai Nagham Lokal selain yang telah disepakati Para Ulama.

          Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan, “Tidak boleh bagi seorang mukmin membaca Al-Qur’an dengan nada-nada para penyayi. Yang diperintahkan bagi kita adalah membaca Al-Qur’an seperti yang dibaca oleh para ulama salaf kita yang shalih yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan yang mengikuti mereka. Caranya adalah memperindah bacaan dengan tartil, dengan meresapi dan khusyu’ sampai berpengaruh dalam hati yang mendengarkan maupun yang membaca. Adapun membaca Al-Qur’an dengan cara yang biasa dilakukan oleh para penyayi, seperti itu tidaklah dibolehkan.”[5]

            Imam Nawawi berkata Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah juga kebanyakan ulama memaknakan ‘yataghonna bil Qur’an’ adalah, “Memperindah suara ketika membaca Al Quran.” Namun aturan dalam melagukan Al Qur’an harus memenuhi syarat berikut:
1. Tidak keluar dari kaedah dan aturan tajwid.
2. Huruf yang dibaca tetap harus jelas sesuai yang diperintahkan.
3. Tidak boleh serupa dengan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan.[6]

            Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak boleh melanggamkan Al Qur’an dengan menggunakan langgam local selain nagham yang telah disepakati para ulama. Hal ini karena manyalahi poin ke tiga yang dikatakan oleh para ulama seperti disebutkan diatas.
           

PENUTUP

Kesimpulan
            Ilmu tajwid merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang tata cara mambaca Al-Qur’an dengan baik. Bagi pembaca Al-Qur’an, Ilmu Tajwid merupakan sebuah tuntutan untuk dipelajari. Ilmu Tajwid sebagai alat atau berupa cara untuk menciptakan keindahan dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan Ilmu Tajwid dapat menciptakan irama dalam membaca Al-Qur’an. Irama tersebut melahirkan sebuah seni yang dikenal dengan seni bacaan Al-Qur’an. Ilmu Tajwid dengan seni baca Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat. Seni baca Al-Qur’an tidak bisa dijalan jika ilmu tajwid belum terapkan dalam bacaan secara sempurna. Menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan, akan membuat bacaan lebih indah dan sempurna. Keindahan dalam mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an akan melahirkan seni yang berbentuk irama. Dalam membaca Al-Qur’an berirama tersebut harus mengikuti aturan ilmu tajwid. Karena jika salah kaidah ilmu tajwid dalam membaca Al-Qur’an, maka mengakibatkan kesalahan pula dalam membaca Al-Qur’an. Oleh karena demikian, ilmu tajwid merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dipelajari dalam membaca Al-Qur’an. Terlebih lagi dalam membaca Al-Qur’an secara berseni (Nagham).


DAFTAR PUSTAKA

Alam, Tombak, Ilmu Tajwid Populer, Kali Pandai, Bumi Aksara.

Abdurrohim, Acep Iim, Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, Bandung: Diponegoro, 2003.

Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Bin Baz, ‘Abdul ‘Aziz, ,  Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,

bin ‘Ied Al-Hilalii, Salim, Bahjatun Nazhirin





[1] Sei. H. DY. Tombak Alam, “Ilmu Tajwid Populer” 17 Kali Pandai, Bumi Aksara, Hlm. 15
[2] Sei. H. DY. Tombak Alam, “Ilmu Tajwid Populer” 17 Kali Pandai, hlm.18
[3] Acep Iim Abdurrohim, Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003), hlm. 16
                [4] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hal
1-2.
                [5] Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz,  Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, bab 9.  hlm. 290

                [6] , Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Bahjatun Nazhirin bab 1.  hlm. 472

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts