Sunday, March 18, 2018




Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.[1]

 Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa, dan gangguan berfikir. Ketiga gangguan itu masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak, tentu akan menjadi sukar dan sangat sukar.[2]

A.     Gangguan berbicara

Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik. Kedua, gangguan berbicara psikogenik.[3]

a)      Gangguan mekanisme berbicara

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual) , dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).[4]

·         Gangguan akibat faktor Pulmonal

Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

·           Gangguan akibat faktor Laringal

Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya dapat dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapanya dapat diterima.

·         Gangguan akibat faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan, maka untuk mencegah rasa pedih ini dalam berbicara gerak lidah dikurangi sesuai dengan kehendak penutur.

·           Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor Resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang sumbing menjadi bersengau atau bindeng.

b)        Gangguan akibat Multifaktoral

Akibat gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain sebagai berikut.[5]

·           Berbicara serampangan

Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.

·         Berbicara Propulsif

Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit Parkinson atau kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan mempengaruhi proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.

·           Berbicara Mutis

Penderita gangguan Mutis ini tidak dapat berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Mutisme ini bukan hanya tidak dapat berbicara atau berkomunikasi secara verbal tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya.

c)        Gangguan Psikogenik

Gangguan  berbicara Psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara karena mungkin lebih tepat jika disebut dengan variasi cara berbicara yang normal tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental.[6]

·           Berbicara Manja

Disebut berbicara manja karena ada kesan anak melakukannya karena ingin dimanja dapat kepada orang tuanya atau pun kepada sanak famili yang dekat dengan si anak.

·           Berbicara Kemayu

Berbicara kemayu ini berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Yaitu dengan melakukan gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol dan gemah gemulai.

·         Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.

·           Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif  yang bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.

B.     Gangguan Berbahasa

Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa macam afasia.[7]

a.         Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.

Ø  Afasia Motorik Kortikal

Afasia Motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih bisa dilaukan.

Ø  Afasia Motorik Subkortikal

Penderita Afasia Motorik subkortikal adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun berjalan normal.

Ø  Afasia Motorik Transkortikal

Para penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? ` dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga sering disebut dengan afasia nominatif.

b.       Afasia Sensorik

Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.

Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat dipahami.

C.       Gangguan Berfikir

Ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.[8]

a.       Pikun (Demensia)

Kepikunan atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak.

b.      Sisofrenik

Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir. Dulu para penderita sisofrenik juga disebut dengan schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar dengan volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria, yang utama adalah diferensia dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi.

c.       Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksi penderitaanya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.

D.        Gangguan lingkungan sosial

Maksud dari akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia.[9] Keterasingan ini dapat disebabkan oleh perlauan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja. Seorang anak terasing menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak aterasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi manusia sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak-kanak selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.

·         Kasus Genie

Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu–saatunya orang yang sering ditemuinya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama–lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa–apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu tergesa–gesa.[10]

Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak–anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah. Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari evaluasi perawatan bulan–bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emosional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat keterbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.

Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata–kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa. Seperti teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak–kanak hingga masa puber, atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil balig. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak–kanak yang normal. Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki fasilitas bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat–isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.


[1] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 148.
[2] Ibid, hlm: 148.
[3] Ibid, hlm: 149.
[4] Ibid, hlm: 149.
[5] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 150.

[6] Ibid,hlm: 152.
[7] Ibid, hlm 154.
[8] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 158.

[9] Ibid, hlm: 161.
[10] Ibid, hlm: 163.




Problematika adalah unit-unit dan pola-pola yang menunjukan perbedaan struktur antar satu bahasa dengan bahasa lain. Problematika dalam pembelajaran bahasa arab merupakan suatu faktor yang bisa menghalangi dan memperlambat pelaksanaan proses belajar mengajar dalam bidang studi bahasa Arab. Problematika muncul dari dalam bahasa Arab itu sendiri (problematika linguistik) dan non linguistik atau dikalangan pengajar (guru) dan peserta didik itu sendiri.[1]

Pengetahuan guru tentang kedua problem itu sangat penting agar ia dapat meminimalisasi problem dan mencari solusinya yang tepat sehingga pembelajaran bahasa Arab dalam batas minimal dapat tercapai dengan baik. Sikap mengeluh tanpa mencari jalan keluar adalah hal utopis.[2]

1.       Problematika Linguistik

Problematika linguistik adalah kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran yang diakibatkan oleh karakteristik bahasa arab itu sendiri sebagai bahasa asing. Problematika yang datang dari pengajar adalah kurangnya profesionalisme dalam mengajar dan keterbatasannya komponen-komponen yang akan terlaksananya proses pembelajaran bahasa Arab baik dari segi tujuan, bahan pelajaran (materi), kegiatan belajar mengajar, metode, alat, sumber pelajaran, dan alat evaluasi.[3]

Sedangkan problematika yang muncul dari siswa dalam belajar bahasa Arab adalah pengalaman dasar latar belakang sekolah, penguasaan mufrodat (pembendaharaan kata) dan akibat faktor lingkungan keluarga akibatnya mereka mengalami kesulitan untuk memahami bacaan-bacaan serta tidak mampu menguasai bahasa Arab secara utuh baik dala gramatika maupun komunikasinya.

Problematika linguistik itu diantaranya:

a)      Tata bunyi/Phonetik

                Tata bunyi/Phonetik dalam bahasa Arab ini memiliki sifat yang berbeda dan bermacam dalam cara pengucapannya, masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri seperti tata bunyi huruf halqiyah/tenggorokan, sifat bunyi antara dua mulut, tata bunyi ke hidung, tata bunyi huruf yang berdekatan dalam cara pengucapannya, dan tata bunyi lainya yang menjadikan susah dalam pengucapannya.[4]

Dan termasuk problematika Tata bunyi ini diantaranya: bahwa beberapa fonem Indonesia tidak ada padannnya dalam bahasa Arab, seperti bunyi P,G, dan NG, sehingga bunyi P diucapkan orang Arab dengan bunyi B, seperti kata jepang : G menjadi Ghin atau Jim, Garut menjadi jarut, bandung menjadi bandunj

Aspek bunyi sebagai dasar untuk mencapai kemahiran menyimak dan berbicara kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan pertama, tujuan pembelajaran bahasa arab hanya diarahkan agar pelajar mampu memahami bahasa tulisan yang terdapat dalam buku-buku berbahasa Arab. Kedua pengertian hakekat bahasa lebih banyak didasarkan atas dasar metode gramatika-terjamahan. Dengan sendirinya gambaran dan pengertian bahasa atas metode ini tidak lengkap dan utuh, karena mengandung tekanan bahwa bahasa itu pada dasarnya adalah ujaran.  Misalnya saja pada pengajian majlis ta’lim, pesantren-pesantren yang mengajarkan Al-Quran telah diajarkan tata bunyi bahasa yang disebut Makharijul huruf dalam ilmu tajwid. Akan tetapi ilmu tersebut menitikberatkan bukan pada kemahiran membaca Al-Quran, bukan pada kemahiran menggunakan bahasa Arab.

b)     Kosa Kata

Faktor menguntungkan bagi para pelajar bahasa Arab bagi guru BA di Indonesia adalah segi kosa kata atau perbendaharaan kata karena banyak sekali kata bahasa Arab yang masuk ke dalam bahasa indonesia atau bahasa daerah. Namun demikian, perpindahan kata-kata dari bahasa asing ke siswa menimbulkan persoalan-persoalan berikut:

1.  Pergeseran arti, seperti kata Masyarakat yang berasal dari kata مشاركة / Musyarakah, dalam bahasa arab arti kata masyarakat ialah keikutsertaan, partisipasi atau kebersamaan. Sementara dalam bahasa indonesia artinya berubah menjadi masyarakat yang sebenarnya dalam bahasa Arab di katakan مجتمع/ mujtama'.

2.  Lafaznya berubah dari bunyi aslinya, seperti berkat dari kata بركة/ barkah, kata kabar dari kata خبر/khabr, kata mungkin dari kata ممكن/ mumkin.

3.  Lafaznya tetap, tetapi artinya berubah dari bunyi aslinya, seperti kata كلمة/ kalimah, yang berarti susunan kata-kata yang bisa memberikan pengertian, berasal dari bahasa Arab كلمات yang berarti kata-kata.

c)        Tulisan

Adapun problematika dalam tulisan diantaranya:
1.    Sistem penulisan Arab yang dimulai dari kanan ke kiri, dimana, kemampuannya tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, dibanding dengan sistem penulisan latin.

2.    Satu huruf memiliki banyak bentuk yang berbeda tergantung letak huruf itu sendiri dalam kata, ada yang diawal, ditengah, dan diakhir kata. Tentunya berbeda dalam penulisannya, ditambah lagi dengan ragam tulisannya, ada yang harus disambung dan dipisah.

3.    Huruf-huruf yang berdekatan dan menyerupai, seperti huruf:ج ح خ bentuk huruf semuanya sama, hanya titik yang membedakannya.

4.     Tidak ada kesesuaian antara tulisan dan pengucapannya. Ada sebagian yang ditulis tetapi tidak diucapkan. Seperti Alif sesudah Waw jama’ah :         ضربوا, atau sebaliknya, diucapkan tetapi tidak ditulis.

5.    Letak penulisan Hamzah yang bermacam-macam. Ada yang terletak diawal kalimat, ditengah, dan diakhir kalimat atau ditulis pada alif (   أ ), pada “ya” (ئ  ), pada waw (ؤ  )atau ditulis secara tersendiri.

6.    Penulisan Alif al-Maqsurah (ى  ), perbedaanya dengan “ya”. Khususnya, ketika “ya” ditulis tanpa titik.

Problem dalam tulisan ini, disebabkan karena tulisan Arab berbeda dengan bahasa (tulisan latin).



[1] Nandang Sarip Hidayat, “Problematika Pembelajaran Bahasa Arab”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37 No. 1, Januari-Juni 2012, hlm. 84
[2] Aziz Fahrurrozi, “Pembelajaran Bahasa Arab : Problematika dan Solusinya”, Arabiyat: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Vol. I No. 2, Desember 2014, hlm. 162
[3] Nandang Sarip Hidayat, Log.Cit, hlm. 85
[4] Ibid.

Popular Posts