Gangguan berbahasa ini secara garis
besar dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis dan kedua,
akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah
gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat
bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah
lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau
terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.[1]
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan
berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu gangguan
berbicara, gangguan berbahasa, dan gangguan berfikir. Ketiga gangguan itu
masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang
normal, bila tidak, tentu akan menjadi sukar dan sangat sukar.[2]
A.
Gangguan berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang
mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang
berimplikasi pada gangguan organik. Kedua, gangguan berbicara psikogenik.[3]
a) Gangguan mekanisme berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses
produksi ucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah,
otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka
gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dirinci menjadi gangguan
berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita
suara (laringal), pada lidah (lingual) , dan pada
rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).[4]
·
Gangguan akibat faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para
penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan
bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang
monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi
semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
·
Gangguan akibat faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan
suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara
akibat faktor laringal ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa
kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya dapat dilihat dari segi semantik dan
sintaksis ucapanya dapat diterima.
·
Gangguan akibat faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan
terasa pedih kalau digerakkan, maka untuk mencegah rasa pedih ini dalam
berbicara gerak lidah dikurangi sesuai dengan kehendak penutur.
·
Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor Resonansi ini
menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang
sumbing menjadi bersengau atau bindeng.
b)
Gangguan akibat Multifaktoral
Akibat gangguan multifaktoral atau
berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara
lain sebagai berikut.[5]
·
Berbicara serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono
adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah
dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.
·
Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya
terdapat pada para penderita penyakit Parkinson atau kerusakan pada otak yang
menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan mempengaruhi
proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara
sebagian besar lenyap.
·
Berbicara Mutis
Penderita gangguan Mutis ini tidak dapat
berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Mutisme ini
bukan hanya tidak dapat berbicara atau berkomunikasi secara verbal tetapi juga
tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan
gerak-gerik dan sebagainya.
c)
Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara Psikogenik
ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara karena
mungkin lebih tepat jika disebut dengan variasi cara berbicara yang normal
tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental.[6]
·
Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan
anak melakukannya karena ingin dimanja dapat kepada orang tuanya atau pun
kepada sanak famili yang dekat dengan si anak.
·
Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu ini berkaitan dengan
perangai kewanitaan yang berlebihan. Yaitu dengan melakukan gerak bibir dan
lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol
dan gemah gemulai.
·
Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena
sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata
pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu
kalimat dapat diselesaikan.
·
Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu
perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya
latah adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif yang
bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat
dipancing.
B.
Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan
menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan
mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus
berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia. Berikut ini
akan dijelaskan beberapa macam afasia.[7]
a.
Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan
yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan
daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di
daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
Ø Afasia
Motorik Kortikal
Afasia Motorik kortikal berarti
hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan
bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan
ekspresi visual masih bisa dilaukan.
Ø Afasia
Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik subkortikal
adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan
perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu
pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun
berjalan normal.
Ø Afasia
Motorik Transkortikal
Para penderita afasia motorik
transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih
mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan
`pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa
namanya? ` dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk
mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga
sering disebut dengan afasia nominatif.
b.
Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah
akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium
yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari
apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya
pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak
dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu
merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya
itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan
suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa
pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan melodi yang sesuai
dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja seakan-akan dia
berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak
tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa
yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat dipahami.
C.
Gangguan
Berfikir
Ekspresi verbal yang terganggu bersumber
atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai
akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.[8]
a. Pikun (Demensia)
Kepikunan atau dimensia adalah suatu
penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari
ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan
jangka pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang dan waktu. Juga gangguan
kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi
otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa
akibat gangguan berfikir. Dulu para penderita sisofrenik juga disebut
dengan schizophrenik word salad. Para penderita
ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar dengan
volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata
neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya
merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa
sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria,
yang utama adalah diferensia dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan
pascahalusinasi.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksi
penderitaanya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah
verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang
cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus
oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas keluar yang panjang. Perangai
emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal
yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri
sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati
kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.
D.
Gangguan
lingkungan sosial
Maksud dari akibat faktor lingkungan
adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya normal
dari lingkungan kehidupan manusia.[9] Keterasingan ini dapat
disebabkan oleh perlauan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja. Seorang anak
terasing menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau
dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi,
anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak
mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial
masyarakat maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa.
Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang
membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak
aterasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi manusia sebab pada
hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah
manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang
sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya
menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak
sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu
masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam
suatu lingkungan sosial. Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi
manusia hanya selama masa kanak-kanak selepas umur tujuh tahun anak itu tidak
dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
·
Kasus Genie
Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13 tahun
9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi
duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela
berkelambu tebal. Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya
membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun,
dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu–saatunya orang yang
sering ditemuinya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal
lama–lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa–apa si ibu
memberi makan Genie dengan selalu tergesa–gesa.[10]
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam
kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara
emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak–anak
Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang
parah. Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa.
Namun, dari evaluasi perawatan bulan–bulan pertama didapat kesimpulan bahwa
Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah
mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emosional, tetapi dia tidak
mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat keterbelakangannya.
Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik
yang dialaminya.
Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika
ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun.
Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan,
kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui bahwa Genie memahami
sejumlah kata–kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami
sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang
sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa
puber. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu
meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa. Seperti
teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk
mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak–kanak hingga masa puber,
atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil balig.
Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya
dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal
perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak–kanak
yang normal. Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki
fasilitas bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik
untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia
mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat–isyarat verbal
maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa
Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat
hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.
[1] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 148.
[2] Ibid, hlm: 148.
[3] Ibid, hlm: 149.
[4] Ibid, hlm: 149.
[5] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 150.
[6] Ibid,hlm: 152.
[7] Ibid, hlm 154.
[8] Abdul Chaer,2009, Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm: 158.
[9] Ibid, hlm: 161.
[10] Ibid, hlm: 163.
0 comments:
Post a Comment