Teori Behaviorisme
Behaviorisme berasal dari kata
behave yang berarti berperilaku dan isme yang berarti aliran.[1]
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku
kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan
(stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat
reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan
jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa
pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk
barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang
mendengar kata tersebut. Apabila suatu ketika si anak mengucapkan barangkali
dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi
seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan
merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
Salah satu tokoh aliran behaviorisme ialah B. F Skinner. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957)
yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini.Menurut aliran ini,
belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme.
Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol
oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus
dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan
ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan
berubah dan inilah yang disebut belajar. Namun demikian, banyak kritikan terhadap
aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan
reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk
pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga
menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak
mendukung aliran ini. Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat
disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar
karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.[2]
Teori ini dipelopori oleh Pavlov, Edward
Erdwad Lee Thorndike, Watson, Skinner.
1. Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov
(1848-1936)
Teori pembiasaan klasik ini
merupakan teori pertama dalam teori stimulus- respon. Teori ini ditemukan oleh Ivan P. Pavlov
(1848-1936). Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan
ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada
anjing. Ketika Pavlov melakukan eksperimen mengenai proses pencernaan hewan,
dia mendapati bahwa sebelum seekor anjing memulai memakan makanan, air liurnya
terlebih dahulu keluar. Setiap kali anjing yang diamati melihat makanan, air
liur anjing selalu keluar. Untuk percobaan berikutnya yakni dia membunyikan
lonceng sebelum anjing diberi makan. Sebelumnya, dengan pembunyian lonceng
saja, tanpa diikuti pemberian makanan,
tidak pernah membuat anjing mengeluarkan air liurnya. Namun, dengan pemberian
makanan, membuat anjing itu meneluarkan air liurnya. Disini berarti anjing
telah “mempelajari” bahwa bunyi lonceng bermakna makanan akan muncul dan oleh
karena itu, air liurnya akan keluar. Anjing tersebut telah belajar
mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan.Bunyi lonceng menjadi stimulus
dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan
pengkondisian.
Eksperimen Pavlov dengan anjing itu terdiri
dari empat elemen terpisah yang selalu muncul dalam teori pembiasaan klasik
yaitu :
a. Stimulus yang tidak dibiasakan (STD)
seperti, makanan yang selalu membangkitkan reaksi tertentu yaitu mengeluarkan
air liur.
b. Respons tidak dibiasakan (RTD) seperti,
reaksi mengeluarkan air liur yang selalu keluar apabila STD muncul.
c. Stimulus yang dibiasakan (SD) seperti,
bunyi lonceng yaitu satu peristiwa yang pada mulanya sebelum dilazimkan tidak
membangkitkan respons yang dikehendaki.
d. Respons yang dibiasakan (RD) seperti, mengeluarkan air liur setelah hanya mendengar
bunyi lonceng yaitu perilaku yang dipelajari oleh anjing setelah terjadinya
stimulus yang dilazimkan.
Dari eksperimen itu, Pavlov beranggapan bahwa
pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang dibiasakan (RD)
ini, namun banyak pakar Psikologis modern yang mentakan bahwa pembelajaran
bukanlah rangkaian respon yang dibiasakan, melainkan merupakan hasil dari usaha
yang diatur secara kooperatif oleh seluruh lembaga bagian yang terlibat dalam
pembelajaran. Namun, konsep respon ini yang disebut teori perkembangan klasik
akan tetap dirujuk sebagai contoh atas perbandingan.[3]
2. Teori Penghubungan dari Thorndike
(1874-1919)
Menurut Thorndike, belajar merupakan proses
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering pula
disebut “trial and error learning”,
individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial-and-error” dalam
rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tersebut.
Thorndike melakukan eksperimen terhadap
seekor kucing di dalam sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dari
dalam dengan menekan sebuah engsel.Dalam usahanya untuk keluar, kucing itu
mencakar-cakar kesana kemari; lalu secara kebetulan kakinya menginjak engsel
sehingga pintu sangkar pun terbuka dan dia bisa keluar. Eksperimen itu diulang
oleh Thorndike dan kucing pun berperangai yang sama. Setelah eksperimen itu
beberapa kali dilakukan berturut-turut jumlah waktu yang diperlukan oleh kucing
untuk membuka pintu sangkar itu semakin sedikit; dan akhirnya dia dapat membuka
pintu sangkar itu dengan segera tanpa harus mencakar dulu ke sana kemari.
Dari percobaan terhadap
binatang-binatang itu, Thorndike mengemukakan hukum pembelajaran:
a. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu
jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau
bereaksi, maka reaksi menjadi memuaskan.
b. Hukum latihan (law of excercise), yaitu
makin banyak dipraktikkan atau digunakannya hubungan stimulus respons, makin
kuat hubungan itu. Praktik perlu disertai dengan “reward.”
c. Hukum akibat (law of effect), yaitu
hubungan stimulus respons cenderung diperkuat bila akibatnya memuaskan dan
cenderung diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan. [4]
3. Teori Behaviorisme dari Watson (1878-1958)
Teori behaviorisme merupakan
kelanjutan dari teori pembiasaan klasik oleh Pavlov dalam bentuk baru dan yang
lebih terperinci serta didukun oleh eksperimen baru dengan binatang (tikus) dan
anak kecil (bayi). Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya
respons-respons melalui stimulus pengganti.
Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert
seorang bayi berumur 11 bulan.Pada mulanya Albert tidak takut terhadap binatang
seperti tikus putih berbulu halus.Albert senang sekali bermain-main dengan
tikus putih yang berbulu cantik itu. Dalam eksperimen ini, Watson memulai
proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu
setiap kali Albert ingin mendekati dan ingin memegang tikus putih itu.
Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih itu,
dan juga terhadap kelinci putih.Bahkan juga terhadap semua benda berbulu putih,
termasuk jaket dan topeng Sinterklas berjanggut putih.Dengan eksperimen itu
Watson menyatakan bahwa dia telah berhasil membuktikan bahwa pelaziman dapat
merubah perilaku seseorang menjadi nyata.[5]
4. Teori pembiasaan Operan dari Skinner
Teori tentang pembiasaan operan
dapat dijelaskan dengan percobaan skinner terhadap seekor tikus. Di dalam
sebuah kotak yang disebut dengan kotak skinner terdapat sebuah kaleng tempat
makanan, dan di luar kotak terdapat semacam alat untuk menjatuhkan biji-biji
makanan ke dalam kaleng itu. Setiap kali biji makanan jatuh ke dalam kaleng
akan terdengar bunyi “ting” yang nyaring; dan apabila bunyi “ting” terdengar
berarti ada makanan jatuh ke dalam kaleng tersebut. Seekor tikus dimasukkan ke
dalam kotak skinner itu. Biji-biji makanan akan jatuh ke dalam kaleng jika sebatang
besi yang disisipkan di dalam kotak itu dipijak oleh tikus. Pada waktu tikus
itu lapar secara kebetulan batang besi itu terpijak olehnya, dan biji-biji
makanan pun jatuh ke dalam kaleng. Setelah beberapa kali terjadi, tikus itu
“mengetahui” bahwa apabila dia menekan batang besi maka makanan akan jatuh ke
dalam kaleng.
Biji makanan itu adalah penguat (reinforcer);
peristiwa penekanan batang besi disebut peristiwa penguatan (reinforcing
event); munculnya makanan disebut rangsangan penguat (reinforcing
stimulus); sedangkan perilaku tikus adalah perilaku yang dibiasakan (conditioned
respons).
Perilaku yang dibiasakan bersifat “operan” di
dalam perilaku ini menyebabkan munculnya biji makanan. Tingkah laku yang operan
mempunyai pengaruh terhadap lingkungan; dan lingkungan yang dipengaruhi ini
memberikan hadiah sebagai penguatan kepada pelaku yang mengeluarkan perilaku
tersebut. Hadiah yang menjadi penguat inilah (yang dalam eksperimen di atas
berupa biji-biji makanan) yang menyebabkan tikus itu akan lebih cenderung untuk
menekan batang besi itu.
Dari percobaan itu, Skinner menarik
kesimpulan bahwa penguatan (reinforcement) selalu menambah kemungkinan
berulangnya suatu perilaku. Karena itu, beliau berpendapat bahwa penguatan
harus cepat dilakukan sebelum tingkah laku lain mengganggu dan agar hasil yang
maksimal dapat diperoleh. Selanjutnya, karena penekanan akan perlunya penguatan
juga mendasari teori ini, maka teori pelaziman instrumental ini sering
disifatkan sebagai model S-R-R yaitu stimulus-respons-reinforcement. Dalam
percobaan di atas, perilaku yang dibiasakan yaitu menekan batang besi telah
bersifat instrumental untuk mendapatkan hadiah, yakni biji makanan ataupun
kemungkinan mendapatkan hukuman.
Bagi Skinner, perilaku berbahasa lebih banyak
dipengaruhi atau disebabkan oleh rangsangan (stimulus) dari luar serta
pengukuhan (reinforcement) dari rangsangan itu. Dia juga tidak menerima
akan adanya “kepandaian yang dibawa sejak lahir” dalam pembelajaran berbahasa
itu semata-mata diperoleh sebagai hasil rangsangan dan pengukuhan terhadap
rangsangan itu.
Mengenai akuisisi atau pemerolehan
bahasa ibu oleh kanak-kanak Skinner berpendapat bahawa pemerolehan itu
berlangsung secara berangsur-angsur mengikuti peristiwa-peristiwa tertentu
(Skinner, 1974 : 94).[6]
Teori
Kognitifisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri
alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang
berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan
bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di
dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan
perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223).
Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat
Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak
dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga
dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah. Menurut
teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan
kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.[7]
1. Teori Piaget
Piaget membagi tahap tahap dalam perkembangan
kecerdasan kedalam empat tahap yaitu:
a. Tahap sensory motor.
b. Tahap praoperasi.
c. Tahap operasi konkret.
d. Tahap operasi formal.
Pieget berpendapat bahwa pemerolehan bahasa
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan kognitif. Bahasa
merupakan hasil dari perkembangan intelek secara keseluruhan dan pola-pola
perilaku yang sederhana. Perkembangan kosakata yang sangat pesat dialami pada
anak-anak ketika berumur antara satu setengah sampai dua tahun.[8]
2. Teori L.S Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat
adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran dan bahasa. Kemudian,
kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak
pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa
pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi.
Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa
bahasa dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu, pada tahap
berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi,
begitulah, kanak-kanak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan
menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky pikiran
berbahasa (verbal thought) berkembang melalui beberapa tahap. Mula-mula
kanak-kanak harus mengucapkan kata-kata untuk dipahami. Kemudian bergerak
kearah kemampuan mengerti atau berpikir tanpa mengucapkan kata-kata itu. Lalu,
dia mampu memisahkan kata-kata yang berarti dan yang tidak berarti.
Menurut
Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian
ucapan, yaitu ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantik
ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan
dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks. Dalam perkembangan bahasa,
kedua bagian ini masing-masing bergerak bebas. Oleh karena itu kita harus
membedakan antara aspek fonetik dan aspek semantik. Keduanya bergerak pada arah
yang bertentangan dan perkembangan keduanya sudah terjadi pada waktu dan cara
yang sama. Namun, bukan berarti keduanya tidak saling bergantug. Satu pikiran
kanak-kanak pada mulanya merupakan satu keseluruhan yang tidak samar dan
mencari ekspresinya dalam bentuk satu kata. Setelah pikiran kanak-kanak itu
mulai terarah dan meningkat, maka dia mulai kurang cenderung untuk menyampaikan
pikirannya itu dalam bentuk satu kata. Melainkan mulai membentuk satu kalimat
lengkap.Sebaliknya, ucapan bergerak dari satu keseluruhan kalimat lengkap dan
hal ini menolong pikiran kanak-kanak untuk bergerak dari satu keseluruhan ke
bagian-bagian yang bermakna.[9]
Berikut adalah ciri-ciri dari aliran kognitifisme:
ü mementingkan
apa yang ada dalam diri manusia;
ü mementingkan
keseluruhan daripada bagian-bagian;
ü mementingkan
peranan kognitif;
ü mementingkan
kondisi waktu sekarang;
ü mementingkan
pembentukan struktur kognitif;
ü mengutamakan
keseimbangan dalam diri manusia;
ü
mengutamakaninsight (pengertian,
pemahaman). (Diposkan oleh Theresia Herry di 0431).
Teori Perkembangan Model
Kognitivisme
Berpijak pada tiga teori belajar
seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus
selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita
menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan
diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku.
Untuk penganut teori kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan
adalah model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi.
Adapun untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model
pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat
interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah.Hal ini didasarkan
pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme, yaitu bahwa setiap
siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman dan hasil
interaksinya dengan lingkungan sekitar.Jadi pengetahuan itu tidak begitu saja
diberikan oleh guru.(Diposkan oleh Semangat
Muda di 03.58).
Teori perkembangan kognitifisme dikembangkan oleh Jean Piaget(1896-1980). Teorinya
yang terkenal adalah
‘perkembangan kognitif‘ yang memandang bahwa kemampuan berpikir seseorang itu
melalui perubahan-perubahan gradual
dan berurutan di mana
proses mental menjadi semakin
kompleks. Dan aliran ini mulai muncul pada tahun 60-an sebagai
gejala ketidakpuasan terhadap konsep behavioristik. Menurut teori kognitifisme,
belajar adalah perubahan persepsi
dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Gerakan ini tidak lagi memandang manusia sebagai
makhluk yang bereaksi secara pasif terhadap lingkungan, melainkan sebagai
makhluk yang selalu berfikir (Homo Sapiens). Paham kognitifisme ini tumbuh
akibat pemikiran-pemikiran kaum rasionalisme. Dalam model ini tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh
proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar.
Prinsip-prinsip kognitifisme
Prinsip- prinsip kognitivisme dari beberapa contoh diatas banyak diterapkan
dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan
pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Peserta
didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran
tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu;
b. Penyusunan
materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan
tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat
lebih sederhana;
c. Belajar
dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang
baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru
disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya;
d. Adanya
perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat
mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan
intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti
Soekamto 1992:36).
Perkembangan Bahasa Anak
1. Pandangan
Behaviorisme
Kaum Behavioris menekankan bahwa proses
pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh
rangsangan yang diberikan melalui lingkungan.
Menurut Kaum behavioris kemampuan
berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari
lingkungannya. Anakdianggap sebagai penerima pasifdari tekanan lingkungannya,
tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku
verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak
dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak
itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang
diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Skinner (1969) kaidah
gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan
seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak
dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak dapat
mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di
luar dirinya.
Kaum
behavioris tidak mengakui pendangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan
memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di
lingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan (Stimulus) dari lingkungan tertentu
memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka dipandang
sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai
ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R
dan proses peniruan-peniruan.
2. Pandangan
Kognitivisme
Jean Piaget(1954) menyatakan bahwa
bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu
diantara beberapa kemampuan yang berasal dari menatangan kognitif. Bahasa
distrukturi oleh nalar, maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan
yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan
perkembangan kognitif menentukan perkembangan bahasa.
Chomsky pernah menyanggah konsep
kognitivisme dari piaget ini. Beliau menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitiv tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks,
abstrak, dsan khasitu. Begitu juga lingkungan berbahasa tidak dapat menjelaskan
struktur yang muncul di dlam bahasa anak. Oleh karena itu, menurut Chomsky,
bahasa(Struktur atau Kaidahnya) haruslah diperoleh secara alamiah.
Sebaliknya piaget menegaskan bahwa
struktur kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan
bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul
sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si
anak dengan lingkungan kebahasaannya (juga lingkungan lain).
Kalau Chomsky berpendapat bahwa
lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget
berpendapat demikian. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangatlah
tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya.
Hubungan anatara perkembangankognitif
dan perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan Piaget
mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap
perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan oleh Piaget disebut sebgai tahap
“sensory motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum
menggunakan lambang-lambang untuk menunjuk pada benda-benda di sekitarnya. Anak
pada tahap ini memahami dunia melalui alat inderanya(Sensory) dan gerak
kegiatan yang di lakukannya(motor). Anak hanya mengenal benda jika benda itu
dialaminya secara langsung. Begitu benda itu hilang dari pengelihatannya maka
benda itu dianggap tidak ada lagi.menjelang akhir usia satu tahun barulah
sianak dapat menagnkap bahwa objek itu tetap ada (permanen), meskipun sedang
tidak dilihatnya. Sedang dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda,
yang memiliki sifat permanen.
Sesudah mengerti kepermanenan objek
anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi
hadir di hadapannya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan
si anak. Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitif harus
tercapai lebih dahulu dan sesudah itu pengetahuan itu dapat keluar dalam bentuk
keterampilan berbahasa. [10]
[1]Saina, http://bogcute.blogspot.co.id/2012/10/teori-behavioristik.html?m=1 diakses
pada tanggal 12 maret 2017 pukul 13.00 Wib
[2]Desi wahidah sari, http://desi-wahida.blogspot.co.id/2011/12/psikolinguistik.html?m=1 diakses
pada tanggal 12 maret 2017 pukul 16.00 Wib
[3]Abdul, Chaer, Psikolinguistik kajian
teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hlm:84-85
[4]Saina, http://bogcute.blogspot.co.id/2012/10/teori-behavioristik.html?m=1 diakses
pada tanggal 12 maret 2017 pukul 13.00 Wib
[5]Saina, http://bogcute.blogspot.co.id/2012/10/teori-behavioristik.html?m=1 diakses
pada tanggal 12 maret 2017 pukul 13.00 Wib
[6]Abdul, Chaer, Psikolinguistik kajian
teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hlm:90-91
[7]Desi wahidah sari, http://desi-wahida.blogspot.co.id/2011/12/psikolinguistik.html?m=1 diakses
pada tanggal 12 maret 2017 pukul 16.00 Wib
[8]Abdul Chaer, Psikolinguistik kajian
teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm: 107
[9]Riyan libra, https://riyanlibra24.blogspot.co.id/2015/11/perkembangan-kognitifpsikolinguistik.html?m=1, diakses
pada tanggal 11 maret 2017 pukul 06.00 Wib
[10]Abdul Chaer, Psikolinguistik kajian
teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm: 222-224
0 comments:
Post a Comment