Saturday, March 17, 2018




Pengertian Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa adalah proses yang berlangsung didalam otak seseorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (Language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang anak mempelajari bahasa kedua., setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua, seperti Nurhadi dan Roekhan (1990).[1]

“pemerolehan” (al-iktisab/ aqcuisition), bahasa pertama ini adalah suatu hal yang wajar dan lazim bagi semua orang maka ini kurang diteliti atau dipelajari perkembangannya, misalnya, pada umur kurang lebih 5 tahun seorang anak sudah mantap berbahasa pertama atau sering disebut ‘aqil balgh secara bahasa ( linguistically adult). Memang diketahui bahwa ada semacam “urutan” dalam pemerolehan bahasa pertama ini, yakni dari “satu kata” ke “frase dua kata”. Dan bahwa ada bermacam-macam bunyi yang terlebih dahulu diperoleh (misalnya, bunyi bilabial/m/, atau /p/) akan tetapi, baru dengan kembali bangkitnya teori “hipotesis kemampuan secara alamiah” (innate hypothesis) dengan pernyataan tata bahasa transformasional-generatif Noam Chomsky pada akhir 1950-an, timbul kembali minat orang untuk mengkaji pemerolehan bahasa pertama.[2]

Setelah belajar bahasa pertama/ ibu, ada belajar bahasa yang bukan bahasa pertama ini disebut “bahasa kedua” (al-lughah al-tsaniyah/ second language) dan bahasa asing” (al-lughah al-ajnabiyah/ foreign language). Bahasa kedua adalah bahasa yang digunakan dimasyarakat luas , atau bahasa yang diperoleh anak dalam pergaulannya di masyarakat. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh orang “asing” , yaitu diluar lingkungan masyarakat atau bangsa.

Dari pengalaman diketahui bahwa belajar selain bahasa pertama ini sukar, apalagi belajar bahasa asing, karena pemerolehan bahasa ini bukan terjadi secara ilmiah, tetapi terjadi dengan paksaan yang membuat para pelajar harus berada pada nuansa baru dalam berbagai aspeknya yang belum pernah ia peroleh dikeluarga. Untuk proses belajar yang sukar inilah yang perlu dicari dan dikembangkan “tata cara memudahkannya” atau kurang lebih disebut “metodologi”. Karena dalam belajar seperti ini diperlukan guru, artinya terjadi kegiatan “mengajar” atau “pembelajaran”.[3]

Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang memeroleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan menerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri.kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai anak akan menjadi kemampuan linguistik anak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan,atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.[4]

Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa

Berbagai aliran dalam psikologi tampaknya juga berpengaruh dalam bidang linguistik khususnya dalam hal pemerolehan bahasa. Permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa ini adalah apakah bahasa yang dimiliki oleh manusia merupakan faktor keturunan ataukah faktor lingkungan. Sebagian pendapat mengatakan bahwa bahasa diperoleh karena adanya faktor keturunan , pendidikan atau lingkungan tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sementara itu sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa bahasa itu diperoleh karena faktor latihan yang berturut-turut, keturunan tidak ada pengaruhnya sama sekali. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang pemerolehan bahasa.

1. Pandangan strukturalisme (behaviorisme)

Kaum strukturalisme mengatakan bahwa bahasa itu diperoleh karena adanya faktor latihan yang terus menerus. Dalam hal ini, kaum struktural tersebut berlandaskan pada psikologi behaviorisme. Psikologi behaviorisme ini menyatakan bahwa segala sesuatu itu dapat terjadi karena faktor habituasi  (latihan/kebiasaan). Psikologi behaviorisme ini tampaknya begitu kuat dalam mempengaruhi aliran strukturalisme. Oleh karena itu,  aliran ini pun berpendapat bahwa bahasa itu diperoleh karena faktor latihan yang kontinu. Kaum strukturalisme memiliki contoh cerita yang sangat terkenal yakni adanya seorang bayi yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa. Bayi tersebut setelah besar tidak dapat berbahasa seperti bahasa manusia melainkan berbahasa seperti serigala seperti melolong dan menggonggong ketika ada makanan. Oleh kelompok strukturalisme hal ini merupakan suatu bukti bahwa walaupun seseorang itu memiliki keturunan(gen) bahasa namun jika tidak pernah dilatih dengan kontinu, maka orang tersebut tidak mampu berbahasa sebagaimana manusia biasa.

Implementasi dari pendapat behavioristik (strukturalisme) tersebut adalah agar seseorang itu dapat memeroleh bahasa, maka orang yang bersangkutan harus berlatih secara kontinu, seorang bayi dalam perkembangannya dapat berbahasa karena sejak kecil ia telah berlatih berbahasa secara kontinu. Oleh karenanya bayi yang hidup dilingkungan yang berbahasa arab maka ia dapat berbahasa arab, seorang pembantu rumah tangga yang bahasa pertamanya bahasa indonesia kemudian dia bekerja pada keluarga yang lingkungannya bahasa inggris maka pembantu tersebut dengan sendirinya akan mampu berbahasa inggris sebab dengan sendirinya ia telah berlatih bahasa lingkungannya secara kontinu.

2. Pandangan Mentalisme

Kelompok mentalisme memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok behaviorisme. Kaum mentalisme mengatakan bahwa bahasa itu diperoleh manusia karena adanya faktor keturunan. Eksperimen yang dilakukan oleh Chomsky kemudian disebut sebagai tokoh mentalisme. Membuktikan bahwa bahasa itu dapat diperoleh bukan karena latihan yang kontinu. Dalam hal ini Chomsky mengambil binatang yang dianggapnya paling cerdas dan mirip dengan manusia yaitu simpanse. Kemudian binatang itu dilatihnya berbahasa seperti bahasa manusia. Simpanse memang dapat menirukan bunyi-bunyi yang diajarkan kepadanya. Namun demikian, bunyi-bunyi itu sebatas pada apa yang telah diterimanya sebagaimana burung beo menirukan bunyi-bunyi yang telah diajarkan.[5]

Pemerolehan Bahasa Pertama pada Masa Awal

Pemerolehan bahasa pada anak yang baru lahir berawal dari suara tangisnya yang menjadi bentuk respon terhadap stimuli dari lingkungannya.Caranya merespons akan berkembang seiring kematangan mentalnya. Selanjutnya anak akan terus menyimpan stimuli bahasa pada memorinya. Pemerolehan bahasa pertama, atau yang kerap disebut bahasa ibu, merupakan proses kreatif dimana aturan-aturan bahasa dipelajari anak berdasarkan input yang diterimanya dari bentuk sederhana hingga bentuk yang paling kompleks. Anak akan lebih cepat menguasai bahasa jika ia memperoleh bahasa dalam masa emas atau periode ideal (critical age) yaitu usia 6-15 tahun. Pada teori lain diasumsikan bahwa usia kritis tersebut berkisar 0-6 tahun, namun pada intinya batasan periode ideal yang dimaksud adalah prapubertas. [6]

Menurut Lanneberg (dalam Subyakto, 1992) pada masa emas otak manusia masih sangat elastis sehingga memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Adapun pada usia pubertas telah dicapai kematangan kognitif pada saat selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal yang menjadi mantap di bagian otak sebelah kiri. Hal inilah yang disebut lateralisasi. Masa kritislah yang bertanggungjawab atas lateralisasi yang membuat proses pemerolehan bahasa secara alamiah akan  berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali. Efektifnya pemerolehan bahasa pada usia tersebut telah diujikan dalam beberapa penelitian. [7]

Hipotesis bahwa periode usia di atas disebut masa emas pemerolehan bahasa diperkuat oleh beberapa kasus keterlambatan bicara pada orang dewasa yang memperoleh bahasa di atas usia 15 tahun. Sebut saja beberapa nama seperti Amila dan Kayla yang ditemukan di belantara India pada tahun 1920; Genie yang terisolir dari kehidupan manusia dan segala kontak sosial hingga tahun 1970; dan Victor yang ditemukan di hutanAveyson pada tahun 1978. Nama yang terakhir ini kisah hidupnya difilmkan dimana diceritakan tentang betapa sulitnya mengembalikan anak pada kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara sosial dengan seutuhnya. Keterlambatan pemerolehan bahasa berakibat ketidakmampuan secara sepenuhnya penguasaan morfologis dan Sintaktika bahasa (Field, 2003:73).

Contoh kasus keterlambatan pemerolehan bahasa terjadi pada Chelsea yang mulai memperoleh bahasa saat berusia 31 tahun. Bermula dari kecerobohan diagnosis dokter yang menyebutkan bahwa Chelsea mengalami keterlambatan mental, dia tidak pernah dilibatkan dalam kontak sosial yang memungkinkan pemerolehan bahasanya. Setelah beranjak dewasa baru diketahui bahwa Chelsea menderita tuli yang sebetulnya bisa diatasi dengan diajari bahasa isyarat. Setelah dipasang alat bantu dengar, ternyata Chelsea bisa berbicara dan menirukan ucapan orang lain. Waktu yang dibutuhkan Chelsea lebih lama dibandingkan waktu pemerolehan bahasa anak pada masa emas.[8]

Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa anak yang diajarkan menggunakan bahasa isyarat pada usia 0-6 tahun lebih baik dalam pemahaman dan produksi kata dari pada yang belajar pada usia 12 tahun keatas. Kesimpulannya, di atas masa emas otak manusia tidak bisa secara maksimal memperoleh kemampuan sintaktik dan morfologis. Anak kecil adalah bagaikan menulis di atas batu dan mengajari orang tua bagaikan menulis di atas air. Kemampuan menggunakan bahasa dalam proses pemerolehan bahasa secara sistimatis dan akurat memang tidak mudah.

Pernyataan inidiperkuat oleh studi Bellugi dan Klima (dalam Fromkin, 1999) yang menunjukkan bahwa anak tunarungu yang tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua tunarungu dapat menguasai bahasa isyarat. Kemampuan memproduksi kata anak tunarungu ternyata lebih cepat dibandingkan kemampuan memproduksi kata pada anak normal. Tidak mudahnya pemerolehan  kemampuan ini membuktikan bahwa pengendalian otot larinks dan organ bicara pada anak normal lebih kompleks jika dibandingkan dengan pengendalian otot tangan pada anak tunarungu. Pada kasus di atas tidak bisa diasumsikan bahwa bahasa isyarat lebih mudah dibandingkan bahasa lisan karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal universalitas linguistik, sistim gramatika, memungkinkan terjadinya perkembangan dan perubahankebahasaan, dan tidak terlepas dari adanya faktor kesiapan berbahasa.

Pemerolehan Bahasa Kedua dan Kesulitannya[9]

Pemerolehan bahasa selain penguasaan bahasa ibu atau bahasa pertama disebut bahasa kedua, ketiga dan seterusnya. Dalam masyarakat Jawa misalnya, bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa kedua jika anak dibesarkan dalam komunitas wicara bahasa Jawa. Pemerolehan bahasa lebih baik jika diawali sejak dini. Mc Laughindan Genesee, pakar psikolinguistik, berpendapat bahwa anak akan lebih cepat belajar bahasa tanpa kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa.

Selain itu Eric H. Lennenberg, seorang pakar neurolinguistik, juga menegaskan bahwa kondisi otak mendukung pendapat tersebut. Sebelum masa pubertas, otak atau daya pikir anak lebih lentur dan plastis sehingga dapat diajari bahasa apapun dengan lebih mudah. Daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis, cukup dengan self-exposure atau dilibatkan dalam komunikasi partisipatif dalam bahasa target. Pasca pubertas kelenturan ini akan berkurang dan pencapaiannya tidak maksimal (Field,2003:84).

Secara umum ada dua pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua. Pertama, anak sejak lahir sudah dibiasakan terekspos dengan berbagai bahasa.Kedua, anak belajar bahasa kedua setelah bahasa ibu dapat diucapkan dengan baik. Kedua  pendapat ini sama baiknya, namun demikian tetap memiliki kekurangan. Metode pertama dapat berakibat munculnya  keterlambatan berbicara karena otak anak bekerja keras memetakan bahasa apa yang digunakan oleh orang yang mengajaknya berbicara. Namun hal ini tidak berlangsung lama, saat  anak makin besar kemampuan itu akan terasah dengan sendirinya. Metode kedua mengakibatkan pelafalan bahasa kedua akan lebih buruk dari pada anak dengan metode  pertama. Anak dalam metode pertama akan terbiasa  dengan pengucapan dan aksen yang lebih jelas. Sungguh pun begitu, kedua metode ini dapat dipakai dengan catatan memperhatikan  suasana pemerolehan bahasa yang bersifat interaktif, motivatif dan atraktif.

Kesulitan pada pemerolehan bahasa kedua masih terkait dengan teori masa emas seperti yang dijelaskan di atas. Secara umum kita melihat bahwa kemudahan anak belajar bahasa makin lama makin berkurang setelah umur 5-7 tahun, sampai menjadi agak sukar dan lambat setelah pubertas sehingga orang jarang mencapai kefasihan fonologi bahasa kedua jika ia mempelajarinya sesudah pubertas atau setelah berakhirnya masa emas. Namun demikian, menurut Schovel dan Krashen kemampuan belajar bahasa kedua tidak berkurang terlalu banyak meskipun proses laterlisasi telah usai (Subyakto-Nababan, 1992:66)[10]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak[11]

1. Faktor Alamiah.

Yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses perolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan n.ampu menerima apa yang terjadi disekitarnya. Slobin rnengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.[12]

2. Faktor Biologis

Setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994) menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu, anak dapat menercap sistem suatu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis, tata bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.

Dalam proses berbahasa, seseorang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada belahan otak sebelah kiri dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di mengontrol produksi atau penghasilan bahasa, seperti berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah kanan terdapat wilayah wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak itu terdapat wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan unsur fisik penghasil ujaran. Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu, alur penerimaan dan penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut. Bahasa didengarkan dan dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu kemudian dialihkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan. Selanjutnya isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara fisik.

3. Faktor LatarBelakang Sosial

Mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadi perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak. Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkaf interaksi sosial sebuah keluarga,

Semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosiai. Anak yang berasal dari golongan status sosiai ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan yang lamban dalam pemerolehan bahasa. Perbedaan dalam pemerolehan bahasa rnenunjukkan bahwa kelompok menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosiai dan mempunyai ke- sempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

4. Faktor Intelegensi

Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.

5. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.

Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.

Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi. Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya disebut motivasi ekstrinsik.








[1] Abdul chaer, psikolinguistik kajian teoretik, (jakarta: PT.Rineka cipta), 2009, cet.kedua, hal.167
[2]Acep hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, (bandung: PT.Remaja rosdakarya), 2014, cet.keempat, hal.31
[3]Ibid., hal. 31
[4]Abdul chaer, op cit., hal.167

[5] Eko suroso, Psikolinguistik, (Yogyakarta : Penerbit  Ombak), 2014,hal, 82-84.
[6]Muzaiyanah, 2015, proses pemerolehan bahasa anak, Jurnal Raden Fatah, no. 219; 2015  :117
[7]Ibid., hal. 117
[8]Ibid., hal. 118
[9]Ibid., hal. 119
[10]Ibid., hal. 110
[11] Shafa, “Teori Pemerolehan bahasa dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Pendidikan STAIN Samarinda,

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts