Pengertian Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa adalah
proses yang berlangsung didalam otak seseorang anak ketika dia memperoleh
bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan
dari pembelajaran bahasa (Language learning). Pembelajaran bahasa
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang anak
mempelajari bahasa kedua., setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga yang
menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua, seperti Nurhadi dan
Roekhan (1990).[1]
“pemerolehan” (al-iktisab/ aqcuisition), bahasa
pertama ini adalah suatu hal yang wajar dan lazim bagi semua orang maka ini
kurang diteliti atau dipelajari perkembangannya, misalnya, pada umur kurang
lebih 5 tahun seorang anak sudah mantap berbahasa pertama atau sering disebut ‘aqil
balgh secara bahasa ( linguistically adult). Memang diketahui bahwa
ada semacam “urutan” dalam pemerolehan bahasa pertama ini, yakni dari “satu
kata” ke “frase dua kata”. Dan bahwa ada bermacam-macam bunyi yang terlebih
dahulu diperoleh (misalnya, bunyi bilabial/m/, atau /p/) akan tetapi, baru
dengan kembali bangkitnya teori “hipotesis kemampuan secara alamiah” (innate
hypothesis) dengan pernyataan tata bahasa transformasional-generatif Noam
Chomsky pada akhir 1950-an, timbul kembali minat orang untuk mengkaji
pemerolehan bahasa pertama.[2]
Setelah belajar bahasa pertama/ ibu, ada
belajar bahasa yang bukan bahasa pertama ini disebut “bahasa kedua” (al-lughah
al-tsaniyah/ second language) dan bahasa asing” (al-lughah al-ajnabiyah/
foreign language). Bahasa kedua adalah bahasa yang digunakan dimasyarakat
luas , atau bahasa yang diperoleh anak dalam pergaulannya di masyarakat. Sedangkan
bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh orang “asing” , yaitu diluar
lingkungan masyarakat atau bangsa.
Dari pengalaman diketahui bahwa belajar selain
bahasa pertama ini sukar, apalagi belajar bahasa asing, karena pemerolehan
bahasa ini bukan terjadi secara ilmiah, tetapi terjadi dengan paksaan yang
membuat para pelajar harus berada pada nuansa baru dalam berbagai aspeknya yang
belum pernah ia peroleh dikeluarga. Untuk proses belajar yang sukar inilah yang
perlu dicari dan dikembangkan “tata cara memudahkannya” atau kurang lebih
disebut “metodologi”. Karena dalam belajar seperti ini diperlukan guru, artinya
terjadi kegiatan “mengajar” atau “pembelajaran”.[3]
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak
sedang memeroleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses
performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan.
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak
disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses
performansi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan
proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman
melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi
kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan menerbitan melibatkan kemampuan
mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri.kedua jenis proses
kompetensi ini apabila telah dikuasai anak akan menjadi kemampuan linguistik
anak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan
kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam
linguistik transformasi generatif disebut perlakuan,atau pelaksanaan
bahasa, atau performansi.[4]
Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Berbagai aliran dalam psikologi tampaknya juga
berpengaruh dalam bidang linguistik khususnya dalam hal pemerolehan bahasa.
Permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa ini adalah
apakah bahasa yang dimiliki oleh manusia merupakan faktor keturunan ataukah
faktor lingkungan. Sebagian pendapat mengatakan bahwa bahasa diperoleh karena
adanya faktor keturunan , pendidikan atau lingkungan tidak ada pengaruhnya sama
sekali. Sementara itu sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa bahasa itu
diperoleh karena faktor latihan yang berturut-turut, keturunan tidak ada
pengaruhnya sama sekali. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang
pemerolehan bahasa.
1. Pandangan strukturalisme
(behaviorisme)
Kaum strukturalisme mengatakan bahwa bahasa itu
diperoleh karena adanya faktor latihan yang terus menerus. Dalam hal ini, kaum
struktural tersebut berlandaskan pada psikologi behaviorisme. Psikologi
behaviorisme ini menyatakan bahwa segala sesuatu itu dapat terjadi karena
faktor habituasi (latihan/kebiasaan).
Psikologi behaviorisme ini tampaknya begitu kuat dalam mempengaruhi aliran
strukturalisme. Oleh karena itu, aliran
ini pun berpendapat bahwa bahasa itu diperoleh karena faktor latihan yang
kontinu. Kaum strukturalisme memiliki contoh cerita yang sangat terkenal yakni
adanya seorang bayi yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa. Bayi tersebut
setelah besar tidak dapat berbahasa seperti bahasa manusia melainkan berbahasa
seperti serigala seperti melolong dan menggonggong ketika ada makanan. Oleh
kelompok strukturalisme hal ini merupakan suatu bukti bahwa walaupun seseorang
itu memiliki keturunan(gen) bahasa namun jika tidak pernah dilatih dengan
kontinu, maka orang tersebut tidak mampu berbahasa sebagaimana manusia biasa.
Implementasi dari pendapat behavioristik
(strukturalisme) tersebut adalah agar seseorang itu dapat memeroleh bahasa,
maka orang yang bersangkutan harus berlatih secara kontinu, seorang bayi dalam
perkembangannya dapat berbahasa karena sejak kecil ia telah berlatih berbahasa
secara kontinu. Oleh karenanya bayi yang hidup dilingkungan yang berbahasa arab
maka ia dapat berbahasa arab, seorang pembantu rumah tangga yang bahasa
pertamanya bahasa indonesia kemudian dia bekerja pada keluarga yang lingkungannya
bahasa inggris maka pembantu tersebut dengan sendirinya akan mampu berbahasa
inggris sebab dengan sendirinya ia telah berlatih bahasa lingkungannya secara
kontinu.
2. Pandangan Mentalisme
Kelompok mentalisme memiliki pandangan yang
berbeda dengan kelompok behaviorisme. Kaum mentalisme mengatakan bahwa bahasa
itu diperoleh manusia karena adanya faktor keturunan. Eksperimen yang dilakukan
oleh Chomsky kemudian disebut sebagai tokoh mentalisme. Membuktikan bahwa
bahasa itu dapat diperoleh bukan karena latihan yang kontinu. Dalam hal ini
Chomsky mengambil binatang yang dianggapnya paling cerdas dan mirip dengan
manusia yaitu simpanse. Kemudian binatang itu dilatihnya berbahasa seperti
bahasa manusia. Simpanse memang dapat menirukan bunyi-bunyi yang diajarkan
kepadanya. Namun demikian, bunyi-bunyi itu sebatas pada apa yang telah
diterimanya sebagaimana burung beo menirukan bunyi-bunyi yang telah diajarkan.[5]
Pemerolehan Bahasa Pertama
pada Masa Awal
Pemerolehan
bahasa pada anak yang baru lahir berawal dari suara tangisnya yang menjadi bentuk
respon terhadap stimuli dari lingkungannya.Caranya merespons akan berkembang seiring
kematangan mentalnya. Selanjutnya anak akan terus menyimpan stimuli bahasa pada
memorinya. Pemerolehan bahasa pertama, atau yang kerap disebut bahasa ibu,
merupakan proses kreatif dimana aturan-aturan bahasa dipelajari anak berdasarkan
input yang diterimanya dari bentuk sederhana hingga bentuk yang paling
kompleks. Anak akan lebih cepat menguasai bahasa jika ia memperoleh bahasa dalam
masa emas atau periode ideal (critical age) yaitu usia 6-15 tahun. Pada
teori lain diasumsikan bahwa usia kritis tersebut berkisar 0-6 tahun, namun pada
intinya batasan periode ideal yang dimaksud adalah prapubertas. [6]
Menurut Lanneberg (dalam Subyakto,
1992) pada masa emas otak manusia masih sangat elastis sehingga memungkinkan seorang
anak memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Adapun pada usia pubertas telah dicapai kematangan kognitif pada saat selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal yang menjadi mantap di bagian otak sebelah kiri. Hal inilah yang disebut lateralisasi. Masa kritislah yang
bertanggungjawab atas lateralisasi yang membuat
proses pemerolehan bahasa secara alamiah akan berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali. Efektifnya pemerolehan bahasa pada usia tersebut telah diujikan dalam beberapa penelitian. [7]
Hipotesis bahwa periode usia
di atas disebut masa emas pemerolehan bahasa diperkuat oleh beberapa kasus keterlambatan bicara pada orang dewasa yang
memperoleh bahasa di atas usia 15 tahun. Sebut saja beberapa nama seperti
Amila dan Kayla yang ditemukan di belantara India pada tahun 1920; Genie yang
terisolir dari kehidupan manusia dan segala kontak sosial hingga tahun 1970; dan Victor yang
ditemukan di hutanAveyson pada tahun 1978. Nama yang
terakhir ini kisah hidupnya difilmkan dimana diceritakan tentang betapa sulitnya
mengembalikan anak pada kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara sosial dengan seutuhnya. Keterlambatan pemerolehan bahasa berakibat ketidakmampuan secara sepenuhnya penguasaan morfologis dan Sintaktika bahasa (Field,
2003:73).
Contoh kasus keterlambatan pemerolehan
bahasa terjadi pada Chelsea yang mulai memperoleh bahasa saat berusia 31 tahun. Bermula dari kecerobohan diagnosis dokter yang menyebutkan bahwa Chelsea mengalami keterlambatan mental, dia tidak pernah dilibatkan dalam kontak sosial yang memungkinkan pemerolehan bahasanya. Setelah beranjak dewasa baru diketahui bahwa Chelsea menderita tuli yang sebetulnya bisa diatasi dengan diajari bahasa isyarat. Setelah dipasang alat bantu dengar, ternyata Chelsea bisa berbicara dan menirukan ucapan orang lain. Waktu yang
dibutuhkan Chelsea lebih lama dibandingkan waktu pemerolehan bahasa anak pada masa emas.[8]
Hasil penelitian lain
menyebutkan bahwa anak yang diajarkan menggunakan bahasa isyarat pada usia 0-6
tahun lebih baik dalam pemahaman dan produksi kata dari pada yang belajar pada usia
12 tahun keatas. Kesimpulannya, di atas masa emas otak manusia
tidak bisa secara maksimal memperoleh kemampuan sintaktik dan morfologis. Anak kecil adalah bagaikan menulis di atas batu dan mengajari orang tua bagaikan menulis di atas air.
Kemampuan menggunakan bahasa dalam proses pemerolehan bahasa secara sistimatis dan akurat memang tidak mudah.
Pernyataan inidiperkuat oleh
studi Bellugi dan Klima (dalam Fromkin, 1999) yang menunjukkan bahwa anak
tunarungu yang tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua tunarungu dapat menguasai
bahasa isyarat. Kemampuan memproduksi kata anak tunarungu ternyata lebih cepat dibandingkan
kemampuan memproduksi kata pada anak normal. Tidak mudahnya pemerolehan kemampuan ini membuktikan bahwa pengendalian otot larinks dan organ bicara pada anak normal lebih kompleks jika dibandingkan dengan pengendalian otot tangan pada anak tunarungu. Pada kasus di atas tidak bisa diasumsikan bahwa bahasa isyarat lebih mudah dibandingkan bahasa lisan karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal universalitas linguistik, sistim gramatika, memungkinkan terjadinya perkembangan dan perubahankebahasaan, dan tidak terlepas dari adanya faktor kesiapan berbahasa.
Pemerolehan Bahasa Kedua
dan Kesulitannya[9]
Pemerolehan
bahasa selain penguasaan bahasa ibu atau bahasa pertama disebut bahasa kedua,
ketiga dan seterusnya. Dalam masyarakat Jawa misalnya, bahasa Indonesia disebut
sebagai bahasa kedua jika anak dibesarkan dalam komunitas wicara bahasa Jawa. Pemerolehan
bahasa lebih baik jika diawali sejak dini. Mc Laughindan Genesee, pakar psikolinguistik,
berpendapat bahwa anak akan lebih cepat belajar bahasa tanpa kesukaran dibandingkan
dengan orang dewasa.
Selain itu Eric H.
Lennenberg, seorang pakar neurolinguistik, juga menegaskan bahwa kondisi otak mendukung pendapat tersebut. Sebelum masa pubertas, otak atau daya pikir anak lebih lentur dan plastis sehingga dapat diajari bahasa apapun dengan lebih mudah. Daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis, cukup dengan self-exposure atau dilibatkan dalam komunikasi partisipatif dalam bahasa target. Pasca pubertas kelenturan ini akan berkurang dan pencapaiannya tidak maksimal (Field,2003:84).
Secara umum ada dua pendapat mengenai
pemerolehan bahasa kedua. Pertama, anak sejak lahir sudah dibiasakan terekspos dengan berbagai bahasa.Kedua, anak belajar bahasa kedua setelah bahasa ibu dapat diucapkan dengan baik. Kedua pendapat ini sama baiknya, namun demikian tetap memiliki kekurangan. Metode pertama dapat
berakibat munculnya keterlambatan berbicara
karena otak anak bekerja keras memetakan bahasa apa yang digunakan oleh orang
yang mengajaknya berbicara. Namun hal ini tidak berlangsung lama, saat anak makin besar kemampuan itu akan terasah dengan sendirinya. Metode kedua mengakibatkan pelafalan bahasa kedua akan lebih buruk dari pada anak dengan metode pertama. Anak dalam metode pertama akan terbiasa dengan pengucapan dan aksen yang lebih jelas. Sungguh pun begitu, kedua metode ini dapat dipakai dengan catatan memperhatikan suasana pemerolehan bahasa yang bersifat interaktif, motivatif dan atraktif.
Kesulitan pada pemerolehan bahasa
kedua masih terkait dengan teori masa emas seperti yang dijelaskan di atas. Secara umum kita melihat bahwa kemudahan anak belajar bahasa makin lama makin berkurang setelah umur 5-7 tahun, sampai menjadi agak sukar dan lambat setelah pubertas sehingga orang jarang mencapai
kefasihan fonologi bahasa kedua jika ia mempelajarinya sesudah pubertas atau setelah
berakhirnya masa emas. Namun demikian, menurut Schovel dan Krashen kemampuan belajar bahasa kedua tidak berkurang terlalu banyak meskipun
proses laterlisasi telah usai (Subyakto-Nababan, 1992:66)[10]
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa
Anak[11]
1. Faktor Alamiah.
Yang
dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan
aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD).
Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus
dari lingkungan. Proses perolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena
sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk mendapatkan
bahasa, anak tersebut akan n.ampu menerima apa yang terjadi disekitarnya.
Slobin rnengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah pengetahuan seperangkat
kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky.
Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang
memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.[12]
2. Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan
kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu
bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994) menyebut potensi
yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti
pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu, anak
dapat menercap sistem suatu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis, tata
bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.Perangkat
biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu
otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Dalam proses berbahasa, seseorang dikendalikan oleh
sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada belahan otak sebelah kiri
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di mengontrol produksi atau
penghasilan bahasa, seperti berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah
kanan terdapat wilayah wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak itu terdapat
wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan unsur fisik
penghasil ujaran. Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu, alur penerimaan dan
penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut. Bahasa didengarkan dan
dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu kemudian dialihkan ke
daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan. Selanjutnya isyarat
tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti alat ucap, untuk
menghasilkan bahasa secara fisik.
3. Faktor LatarBelakang Sosial
Mencakup
struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan
terjadi perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak. Semakin tinggi tingkat
interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak)
memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkaf interaksi sosial sebuah
keluarga,
Semakin
kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang
turut berpengaruh adalah status sosiai. Anak yang berasal dari golongan status
sosiai ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan yang lamban dalam pemerolehan
bahasa. Perbedaan dalam pemerolehan bahasa rnenunjukkan bahwa kelompok menengah
lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit dibandingkan
dengan anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi
dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi
anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih
baik oleh kelompok sosiai dan mempunyai ke- sempatan yang lebih baik untuk
memerankan kepemimpinannya ketimbang anak yang kurang mampu berkomunikasi atau
takut menggunakannya.
4. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam
berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan
seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak
dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi
seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan
bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari
pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang
sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis,
dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka
waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat
pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi
bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
5. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat
menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa
ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi
bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat,
seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986;
Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang
berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi
dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami
dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa
komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira
sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya.
Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi.
Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya
disebut motivasi ekstrinsik.
[1] Abdul chaer, psikolinguistik kajian teoretik, (jakarta:
PT.Rineka cipta), 2009, cet.kedua, hal.167
[2]Acep hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, (bandung:
PT.Remaja rosdakarya), 2014, cet.keempat, hal.31
[3]Ibid., hal. 31
[4]Abdul chaer, op cit., hal.167
[5] Eko suroso, Psikolinguistik,
(Yogyakarta : Penerbit Ombak),
2014,hal, 82-84.
[6]Muzaiyanah, 2015, “ proses pemerolehan
bahasa anak”, Jurnal Raden Fatah, no.
219; 2015 :117
[7]Ibid., hal. 117
[8]Ibid., hal. 118
[9]Ibid., hal. 119
[10]Ibid., hal. 110
[11] Shafa, “Teori Pemerolehan
bahasa dan Implikasinya dalam Pembelajaran”, Jurnal Pendidikan STAIN
Samarinda,
0 comments:
Post a Comment