A. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau language
acquisition adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk
menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun
teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sesekali
terjadi, dengan ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu
ukuran penilaian dari tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari
bahasa tersebut (Kiparsky, 1968 : 194).[1]
Proses pemerolehan
bahasa dipakai untuk padanan bahasa yang
dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native
language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan
padanan dari istilah Inggris, learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal,
yakni, belajar dikelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka
proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan,
sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran.[2]
Terdapat tiga komponen
dalam bahasa, yaitu fonologi; sintaksis dan semantik (dengan menggabungkan
sintaksis dan semantik dalam satu bahasan). Tiga komponen inilah yang bisa
menjadi pembahasan dalam masalah pemerolehan bahasa. Berikut ini akan
dijelaskan mengenai tiga komponen tersebut dalam pembahasan kali ini.
B. Pemerolehan dalam
Bidang Fonologi
Pada waktu dilahirkan,
anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan
binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah maka binatang
sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya
bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proporsi yang ditakdirkan kecil
pada manusia ini proporsional pula dengan pertumbuhan badannya.[3]
Pada umur 6 minggu, anak
mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal.
Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar
dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang
diterjemahkan menjadi dekutan. Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum
jelas identitasnya.[4]
Pada sekitar umur 6 bulan,
anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam
bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi
celotehan. Celotehan dimulai dengan vokal dan diikuti oleh sebuah vokal.
Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial
nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain
dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur
seperti berikut:
(1)
C1 V1 C1 V1 C1 V1 ...
papapa mamama bababa ...
Orang tua kemudian mengaitkan kata papa dengan
ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak anak tidaklah
kita ketahui; tidak mustahil celotehan
itu hanyalah sekedar latihan artikulatori belaka. Konsonan dan vokalnya secara
gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita,
dita, mama, mami, dsb.[5]
Pada anak Barat, kata sudah mulai muncul pada umur ekitar 1
tahun (mulai sekarang dipakai konvensi 1;0 untuk umur satu tahun, 1;7 untuk
umur satu tahun dan tujuh bulan, dst). Pada Echa (Dardjowidjojo), dan mungkin sekali
untuk anak Indonesia yang lain, munculnya kata pertama agak terlambat, yakni
mendekati umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah
bahwa anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku
mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada bahasa Inggris, yang
kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus memilih suku mana. Pada
anak Indonesia, yang kosakatanya kebanyakan polisilabik, anak harus
“menganalisis” terlebih dahulu, barulah dia menentukan suku mana yang harus diambil.
Dari kata sepeda, misalnya, mana yang akan diambil; se, pe,atau da.[6]
Konsonan pada akhir kata
sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga mobil akan
diujarkan sebagai /bI/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan
gugus konsonan sehingga (Eyang) Putri akan disapanya dengan Eyang
/ti/.[7]
Satu hal yang perlu
difahami benar adalah bahwa patokan tahun ini sangat relatif. Ukuran tidak
boleh tahun kalender tetapi harus tahun neurobiologis, artinya, pada tahap
perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi
tertentu.
Dengan demikian, tidak
mustahil akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /dZ/ pada umur
2;6 tetapi kalau ini terjadi dia pasti juga sudah dapat mengucapkan /k/ dan
/g/.
C.
Pemerolehan dalam Bidang
Sintaksis dan Semantik
Alamsyah (2007:21)
menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang
dihasilkan melalui beberap tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan
morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara
bersama-sama untuk membentuk kalimat.[8]
Dalam bidang sintaksis,
anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata
ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan
lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dia pilih? Seandainya anak itu
bernama Dodi dan yang ingin dia sampaikan adalah Dodi mau bubuk, dia
akan memilih Di (untuk Dodi), mau (untuk mau),
ataukah buk (untuk bubuk)? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan
memilih buk.Tapi mengapa demikian?[9]
Dalam pola pikir yang
masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan tentang
innformasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi
baru kepadda pendengarnya. Dari tiga kata pada kalimat Dodi mau bubuk,
yang baru adalah kata bubuk. Karena itulah anak memilih kata buk,
bukan di atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam
ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK (one word utterance) anak
tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan
informasi baru.[10]
Dari segi sintatiknya, USK
sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari sattu kata saja; bahkan
untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun
dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu kata ini bisa memiliki
lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /bi/ untuk mobil bisa
bermaksud mengatakan:
a.
Ma, itu mobil.
b.
Ma, ayo kita ke mobil.
c.
Aku mau ke mobil.
d.
Aku minta (mainan) mobil.
e.
Aku nggak mau mobil.
f.
Papa ada di mobil, dsb.
Ujaran
satu kata yang mempunyai berbagai makna ini dinamakan holofrastik (holophrastic).[11]
Pada
awal USK juga tidak ada gugus konsonan.
Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi
satu konsonan saja. Kata seperti play dan cold masig-masing akan
diucapkan sebagai /pe/ dan /kod/. Kata Eyang putri dalam bahasa
Indonesia diucapkan sebagai Eyang /ti/.[12]
Ciri
lain dari USK adalah kata-kata yang dipakai hanyalah kata-kata dari kategori
sintatik utama (content words), yakni nomina, verba, adjektiva, dan
mungkin juga adverbia. Tidak ada fungsi from, to, dari, atau ke.
Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini.
Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar ataupun ke masa lalu
dan masa depan. Anak juga dapat menyatakan negasi No atau nggakk,
pengulangan more atau lagi, dan habisnya sesuatu gone atau
abis. Lampu yang mati juga sering dikatakan gone![13]
Sekitar
umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata, UDK (Two Word Utterance).
Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata
itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala, seorang anak bukan
mengatakan /lampunala/ “Lampu nyala” tapi /lampu//nala/ “Lampu. Nyala” dengan jeda diantara lampu dan
nyala. Jeda ini makin lama makin pendek sehingga menjadi ujaran yang
normal. Jadi, berbeda dengan USK, UDK sintaksisnya lebih kompleks (karena
adanya dua kata) tetapi semantiknya makin lebih jelas.[14]
Berikut
adalah beberapa contoh yang dikeluarkan oleh Echa, seorang anak, pada umur 1;8:
a.
/liat tuputupu/= “Ayo
lihat kupu-kupu”.
b.
/etsa mimik/ = “Echa minta mimik”.
c.
/etsa nani/ = “Echa mau nyanyi”.
d.
/eyang tsini/ = “Eyang, kesini”.
Kalau kita amati
contoh-contoh diatasdengan teliti maka akan tampak bahwa dalam UDK anak
ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relation). Pada contoh
(a), misalnya kita dapati bahwa anak telah menguasai hubungan kasus antara
perbuatan dengan objek (action-object relation). Pada contoh (b), kita
temukan hubungan kasus pelaku-objek; pada contoh (c) hubungan pelaku-perbuatan,
dst.[15]
Meskipun
pada UDK semantiknya makin jelas, tapi makna yang dimaksud anak masih tetap
harus diterka sesuai dengan konteksnya.
Seperti kalimat: “Teddy milk” atau “Echa roti”, belum tentu
berarti Teddy minta susu atau Echa minta roti. Bisa juga yang dimaksud
anak adalah lain, misalnya Teddy melihat susu dan Echa mau ambil roti, dsb.[16]
Pada
tahap ini anak juga sudah dapat menyatakan bentuk negatif. Pada anak Indonesia,
proses mentalnya mungkin agak rumit karena dalam bahasa Indonesia terdapat
beberapa macam bentuk negatif: bukan, belum, dan tidak.
Seperti dijelaskan oleh Dardjowiidjojo, bentuk negatif yang muncul pada Echa
(cucunya) adalah bukan yang dia ucapkan sebagai /tan/, /utan/, /butan/,
dan kemudian /bukan/.[17]
Setelah
UDK, tidak ada ujaran tiga kata yang merupakan tahap khusus. Umumnya, pada saat
anak mulai memakai UDK, dia juga masih memakai USK. Setelah beberapa lama
memakai UDK dia juga mulai mengeluarakan ujaran yanng tiga kata atau bahkan
lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah kata yang lain bukan
merupakan tahap yang terputus.[18]
[1] Henry Guntur Taringan, Psikolinguistik
(Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 227
[2] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2008), hlm. 225
[3] Ibid, hlm. 244
[4] Soenjono Dardjowidjojo,
loc.cit
[5] Ibid, hlm. 245
[6] Soenjono Dardjowidjojo,
loc.cit
[7] Ibid, hlm. 245
[8]Sanggar, “Tahap-Tahap
Pemerolehan Bahasa”, diakses darri http://nasiroh-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/tahap-tahap-pemerolehan-bahasa.html pada
tanggal 13 Maret 2017 pukul 13:49
[9] Soenjono Dardjowidjojo,
op.cit, hlm. 246
[10] Ibid, hlm. 247
[11] Soenjono Dardjowidjojo,
loc.cit
[12] Soenjono Dardjowidjojo,
loc.cit
[13] Ibid, hlm. 248
[14] Soenjono Dardjowidjojo,
loc. cit
[15] Ibid, hlm. 249
[16] Soenjono Dardjowidjojo,
loc.cit
[17] Ibid, hlm. 250
[18] Soenjono
Dardjowidjojo, loc.cit
0 comments:
Post a Comment