Saturday, March 17, 2018




A.       Pengertian Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sesekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran penilaian dari tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa tersebut (Kiparsky, 1968 : 194).[1]

Proses pemerolehan bahasa  dipakai untuk padanan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris, learning. Dalam pengertian ini proses  itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni, belajar dikelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar di kelas adalah pembelajaran.[2]

Terdapat tiga komponen dalam bahasa, yaitu fonologi; sintaksis dan semantik (dengan menggabungkan sintaksis dan semantik dalam satu bahasan). Tiga komponen inilah yang bisa menjadi pembahasan dalam masalah pemerolehan bahasa. Berikut ini akan dijelaskan mengenai tiga komponen tersebut dalam pembahasan kali ini.

B.        Pemerolehan dalam Bidang Fonologi

Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proporsi yang ditakdirkan kecil pada manusia ini proporsional pula dengan pertumbuhan badannya.[3]

Pada umur 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang diterjemahkan menjadi dekutan. Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.[4]

Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan. Celotehan dimulai dengan vokal dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:

                (1) C1 V1 C1 V1 C1 V1 ... papapa mamama bababa ...

Orang tua kemudian mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak anak tidaklah kita ketahui;  tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulatori belaka. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita, mama, mami, dsb.[5]

Pada anak Barat,  kata sudah mulai muncul pada umur ekitar 1 tahun (mulai sekarang dipakai konvensi 1;0 untuk umur satu tahun, 1;7 untuk umur satu tahun dan tujuh bulan, dst). Pada Echa (Dardjowidjojo), dan mungkin sekali untuk anak Indonesia yang lain, munculnya kata pertama agak terlambat, yakni mendekati umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah bahwa anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada bahasa Inggris, yang kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus memilih suku mana. Pada anak Indonesia, yang kosakatanya kebanyakan polisilabik, anak harus “menganalisis” terlebih dahulu, barulah dia menentukan suku mana yang harus diambil. Dari kata sepeda, misalnya, mana yang akan diambil; se, pe,atau da.[6]

Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga mobil akan diujarkan sebagai /bI/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan sehingga (Eyang) Putri akan disapanya dengan Eyang /ti/.[7]

Satu hal yang perlu difahami benar adalah bahwa patokan tahun ini sangat relatif. Ukuran tidak boleh tahun kalender tetapi harus tahun neurobiologis, artinya, pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu.

Dengan demikian, tidak mustahil akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /dZ/ pada umur 2;6 tetapi kalau ini terjadi dia pasti juga sudah dapat mengucapkan /k/ dan /g/.

C.        Pemerolehan dalam Bidang Sintaksis dan Semantik

Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberap tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.[8]

Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dia pilih? Seandainya anak itu bernama Dodi dan yang ingin dia sampaikan adalah Dodi mau bubuk, dia akan memilih Di (untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk (untuk bubuk)? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk.Tapi mengapa demikian?[9]

Dalam pola pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan tentang innformasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi baru kepadda pendengarnya. Dari tiga kata pada kalimat Dodi mau bubuk, yang baru adalah kata bubuk. Karena itulah anak memilih kata buk, bukan di atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK (one word utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru.[10]

Dari segi sintatiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari sattu kata saja; bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu kata ini bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /bi/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:

                               a.            Ma, itu mobil.
                               b.            Ma, ayo kita ke mobil.
                               c.            Aku mau ke mobil.
                               d.            Aku minta (mainan) mobil.
                               e.            Aku nggak mau mobil.
                                f.            Papa ada di mobil, dsb.
Ujaran satu kata yang mempunyai berbagai makna ini dinamakan holofrastik (holophrastic).[11]
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan.  Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata seperti play dan cold masig-masing akan diucapkan sebagai /pe/ dan /kod/. Kata Eyang putri dalam bahasa Indonesia diucapkan sebagai Eyang /ti/.[12]
Ciri lain dari USK adalah kata-kata yang dipakai hanyalah kata-kata dari kategori sintatik utama (content words), yakni nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada fungsi from, to, dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar ataupun ke masa lalu dan masa depan. Anak juga dapat menyatakan negasi No atau nggakk, pengulangan more atau lagi, dan habisnya sesuatu gone atau abis. Lampu yang mati juga sering dikatakan gone![13]
Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata, UDK (Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala, seorang anak bukan mengatakan /lampunala/ “Lampu nyala” tapi /lampu//nala/  “Lampu. Nyala” dengan jeda diantara lampu dan nyala. Jeda ini makin lama makin pendek sehingga menjadi ujaran yang normal. Jadi, berbeda dengan USK, UDK sintaksisnya lebih kompleks (karena adanya dua kata) tetapi semantiknya makin lebih jelas.[14]
Berikut adalah beberapa contoh yang dikeluarkan oleh Echa, seorang anak, pada umur 1;8:
       a.            /liat tuputupu/= “Ayo lihat kupu-kupu”.
       b.            /etsa mimik/    = “Echa minta mimik”.
       c.            /etsa nani/         = “Echa mau nyanyi”.
       d.            /eyang tsini/     = “Eyang, kesini”.
Kalau kita amati contoh-contoh diatasdengan teliti maka akan tampak bahwa dalam UDK anak ternyata sudah menguasai hubungan kasus (case relation). Pada contoh (a), misalnya kita dapati bahwa anak telah menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek (action-object relation). Pada contoh (b), kita temukan hubungan kasus pelaku-objek; pada contoh (c) hubungan pelaku-perbuatan, dst.[15]
Meskipun pada UDK semantiknya makin jelas, tapi makna yang dimaksud anak masih tetap harus  diterka sesuai dengan konteksnya. Seperti kalimat: “Teddy milk” atau “Echa roti”, belum tentu berarti Teddy minta susu atau Echa minta roti. Bisa juga yang dimaksud anak adalah lain, misalnya Teddy melihat susu dan Echa mau ambil roti, dsb.[16]
Pada tahap ini anak juga sudah dapat menyatakan bentuk negatif. Pada anak Indonesia, proses mentalnya mungkin agak rumit karena dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa macam bentuk negatif: bukan, belum, dan tidak. Seperti dijelaskan oleh Dardjowiidjojo, bentuk negatif yang muncul pada Echa (cucunya) adalah bukan yang dia ucapkan sebagai /tan/, /utan/, /butan/, dan kemudian /bukan/.[17]
Setelah UDK, tidak ada ujaran tiga kata yang merupakan tahap khusus. Umumnya, pada saat anak mulai memakai UDK, dia juga masih memakai USK. Setelah beberapa lama memakai UDK dia juga mulai mengeluarakan ujaran yanng tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah kata yang lain bukan merupakan tahap yang terputus.[18]



[1] Henry Guntur Taringan, Psikolinguistik (Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 227
[2] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 225
[3] Ibid, hlm. 244
[4] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit
[5] Ibid, hlm. 245
[6] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit
[7] Ibid, hlm. 245
[8]Sanggar, “Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa”, diakses darri http://nasiroh-ilmu.blogspot.co.id/2011/01/tahap-tahap-pemerolehan-bahasa.html pada tanggal 13 Maret 2017 pukul 13:49
[9] Soenjono Dardjowidjojo, op.cit, hlm. 246
[10] Ibid, hlm. 247
[11] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit
[12] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit
[13]  Ibid, hlm. 248
[14] Soenjono Dardjowidjojo, loc. cit
[15] Ibid, hlm. 249
[16] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit
[17] Ibid, hlm. 250
[18] Soenjono Dardjowidjojo, loc.cit

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts