Saturday, March 17, 2018




Pengertian Belajar Bahasa Asing

Bahasa asing atau al-lughah al-ajnabiyyah dalam bahasa arab dan foreign language dalam bahasa inggris secara umum adalah bahasa yang digunakan oleh orang asing. Pengertian asing seperti dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2008:93) adalah orang atau sesuatu yang berasal dari luar negri atau luar lingkungan. Pengertian ini menggambarkan bahwa bahasa asing adalah bahasa yang dipakai oleh orang luar negri atau luar lingkungan pribumi. Lebih jelas lagi, seorang linguis kawakan Sri Utari Subyakto-Nababan (1993:3) menggambarkan bahwa bahasa asing adalah bahasa yang digunakan oleh orang asing, yakni orang yang ada di luar lingkungan masyarakat dalam kelompok atau bangsa.[1]
Bahasa merupakan fenomena sosial yang tak terlepas dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Jadi sejak manusia ada telah belajar bahasa secara alamiah, khususnya bahasa keluarga yang diperlukannya untuk berkomunikasi dengan orang sekelilingnya, artinya untuk dapat hidup sebagai makhluk yang bermasyarakat (atau makhluk sosial). Dalam belajar bahasa seperti itu, tidak ada yang dapat disebut “guru” dalam arti yang lazim, sehingga proses itu tidak dapat disebut “mengajar” bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa “belajar” atau “mengetahui bahasa” tidak selalu, bahkan sering, tidak melibatkan “pengajaran”. Yang harus ada dalam keadaan belajar bahasa seperti ini ialah keperluan belajar atau memperoleh suatu sistem komunikasi (bahasa), dan adanya contoh atau “model” komunikasi itu. Atas dasar alasan ini, banyak ahli yang mengistilahkan belajar bahasa pada situasi ini dengan “pemerolehan bahasa”.[2]
Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya seorang anak akan mempelajari bahasa yang pertama (first language), yaitu bahasa ibu. Anak Indonesia biasanya menguasai Bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagai bahasa yang pertama, oleh karena itu kita perlu membedakan istilah bahasa pertama (asli, ibu, utama/first language) yang berwujud bahasa daerah tertentu. Bahasa kedua (second language) yang berwujud Bahasa Indonesia dan bahasa Asing.
Maksud dari belajar bahasa kedua yaitu bahasa Asing adalah proses dimana seseorang mengakusisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya. Berdasarkan pengalaman, diketahui bahwa belajar bahasa kedua termasuk sukar, baik bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat luas maupun bahasa yang hanya dipakai oleh orang asing.[3]

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Kemampuan Belajar Bahasa Pada Anak

Dalam era globalisasi seperti saat ini rasanya wajar kalau sebagian orang tua beranggapan bahwa belajar bahasa Asing mutlak diperlukan.Semakin cepat semakin baik.Para orangtua bersemangat menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang berbasis internasional.
Untuk mengetahui sebetulnya berapa usia terbaik atau paling optimum untuk seorang anak mempelajari bahasa kedua, kita harus memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kemampuan belajar bahasa pada anak yaitu sebagai berikut:
a. Belajar bahasa merupakan proses alamiah seorang anak
Dalam milestones perkembangan seorang bayi mulai mengeluarkan 700 jenis bunyi atau babbling (mengoceh) pada usia 6 bulan. Ia dapat menyerap hingga 2000 kosakata dari lingkungannya saat usia 4 tahun (Kotulak, 1996).
b. Proses belajar bahasa pada Periode Kritis (Crittical Period)
Berdasarkan hipotesis periode kritis, seorang anak memiliki periode waktu dimana ia memiliki puncak skill mempelajari bahasa kedua. Peneliti menyebutkan periode ini berlangsung pada 3 tahun pertama kehidupan dan berakhir pada usia 6-7 tahun. Hal ini dihubungkan dengan perkembangan fungsi otak yang plastis pada periode ini.
Setiap anak yang sehat terlahir dengan 100 milyar sel otak, dan masing-masing sel dapat membuat 20.000 koneksi.Seberapa banyak sel membuat koneksi tergantung pada stimulasi lingkungannya (Diamond, 1988; Ornstein, 1984, 1986). 50% kemampuan belajar akan terbentuk dalam usia satu tahun pertama dan 30 persen selanjutnya terbentuk sampai sekitar usia 8 tahun. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak akan membentuk jarak belajar (learning pathways) yang penting di dalam otak (Bloom, 1964). Teori ini dapat dibuktikan di sekolah Swedia yang merupakan salah satu negara multilingual dimana dapat dijumpai anak-anak usia 3 tahun dapat berbicara 3 bahasa dengan fasih (Dryden & Vos, 1997).
Peneliti lain berpendapat bahwa periode kritis ini berlangsung hingga usia pubertas, dan inilah periode terbaik untuk belajar bahasa kedua. Hingga usia 12 tahun otak bagaikan spons super yang dapat menyerap segala sesuatu. Selain itu, dalam periode ini akan terbentuk fondasi berpikir, berbahasa, penglihatan, attitude, aptitude dan karakter lain. Setelah melewati tahap ini maka periode kritis akan berhenti dan arsitektur fundamental otak telah sempurna terbentuk (Kotulak, 1996).
Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa akan lebih kreatif, menunjukkan kemampuan lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan kompleks dan memiliki nilai yang lebih baik dalam ujian. Sekali seorang anak menguasai bahasa kedua, maka akan lebih mudah untuk memahami struktur bahasa selanjutnya. Secara personal anak akan lebih percaya diri dapat berkomunikasi dengan orang asing.[4]

Kesiapan Anak-Anak Mempelajari Bahasa Asing (Arab)

Pembelajaran bahasa Asing untuk anak-anak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing, bukan sebagai bahasa ibu. Artinya sebagai bahasa tambahan yang dipelajari oleh seseorang diluar bahasa asli yang menjadi bahasa komunikasinya sehari-hari. Dan yang dimaksud dengan anak-anak adalah mereka yang berusia antara 6 sampai 12 tahun, yaitu sampai mereka mencapai penghujung “Masa Sekolah Bahasa Ibu”. Masa sekolah bahasa ibu adalah istilah yang diperkenalkan oleh Johan Amos Comenisus yang membagi masa-masa perkembangan manusia berdasarkan tingkat sekolah yang diduduki anak itu sesuai dengan tingkat usia dan menurut bahasa yang dipelajarinya di sekolah.
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi kesiapan siswa mempelajari bahasa asing adalah faktor usia. Terkait dengan faktor usia ini, yang pasti disepakati oleh banyak pihak adalah tingkat kematangan berbahasa anak yang diidentikkan dengan tingkat usia, mempunyai pengaruh besar terhadap penguasaan bahasa asing. Lalu apakah anak-anak dianggap telah siap untuk mempelajari bahasa asing? Ada yang beranggapan mereka sudah siap bahkan semakin muda usia semakin mudah anak belajar bahasa asing dibandingkan orang dewasa. Ada pula yang berpendapat, belajar bahasa asing sejak dini bukan jaminan keberhasilan.

Beberapa alasan yang diajukan oleh orang-orang yang menolak pembelajaran bahasa asing untuk anak-anak diantaranya dikatakan dalam bukunya Doktor Ali Muhammad Al-Qosimi banyak ditemukan buku dan artikel yang tidak percaya tentang hal memasukkan bahasa asing ke dalam materi pembelajaran bagi pemula, alasan ini berdasarkan psikologi dan kesiapan anak, orang dewasa lebih mampu mempelajari bahasa asing,  pelajaran bahasa asing menyulitkan anak-anak, mempelajari bahasa asing dapat menghalangi anak-anak menguasai bahasa ibunya dengan baik, dan dualisme bahasa dapat menghalangi pertumbuhan kognisi dan efeksi anak-anak. Dari segi kognitif, orang dewasa cenderung lebih sempurna dalam menguasai kaidah ekplisit, yaitu tatabahasa. Namun dari segi afektif, yaitu sikap dan sifat pribadi yang mendukung proses belajar bahasa kedua, orang tua cenderung kurang dibandingkan anak-anak. Hal ini dilaporkan oleh hasil penelitian Taylor pada tahun 1974 dan Schuman pada tahun 1975. Mereka melaporkan bahwa anak-anak mempunyai kapasitas pribadi yang lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak belum memiliki hambatan-hambatan psikologis tentang identitas diri, yaitu misalnya rasa takut salah dalam menggunakan bahasa kedua. Mereka tidak terhalangi dalam belajar bahasa kedua dengan sikap negative terhadap penutur bahasa itu dan anak-anak pada umumnya mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar bahasa. Ini berarti bahwa anak-anak menghadapi tugas belajarnya sebagi tugas yang ringan. Namun sebaliknya, seperti telah dikemukakan, orang dewasa mempunyai beberapa keuntungan kognitif yang lebih baik daripada anak-anak, terutama bila bahasa kedua dipelajari dalam situasi kelas dengan banyak penekanan pada kaidah bahasa. Orang dewasa mempunyai kapasitas ingatan yang lebih besar, cara berpikir yang lebih dewasa, sehingga hal inipun menjadi pendorong belajar yang kuat. Terutama sekali bila tujuan belajar berbahasa itu bersifat instrumental, yaitu bahasa sebagai alat. Misalnya, belajar bahasa untuk tujuan perjalanan jauh ke luar negeri.

Sedangkan Doctor Qousi, seorang spesialis psikologi pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa asing pada usia dini itu lebih baik, dan bahasa asing itu tidak akan berdampak negative bagi pengetahuannya tentang bahasa ibu mereka. Bandingkan dengan alasan-alasan para pendukung pengajaran bahasa asing untuk anak-anak berikut ini, yaitu :
a. Semakin hari kebutuhan akan penguasaan bahasa asing semakin meningkat, karenanya harus dipersiapkan sejak dini,

b. Secara sosial banyak masyarakat yang menggunakan dua atau lebih bahasa untuk komunikasi sehari-hari mereka, ada juga beberapa Negara yang memiliki lebih dari satu bahasa resmi,

c. Dari sudut pandang pendidikan, mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak sejak dini berarti membekali mereka dengan wawasan hidup yang mengglobal,

d. Anak-anak mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk belajar banyak bahasa, diantaranya kemampuan mereka untuk meniru bunyi-bunyi bahasa yang tidak dimiliki orang dewasa,

e. Berdasarkan penelitian terhadap perkembangan saraf-saraf otak manusia menunjukkan bahwa pada masa anak-anak kondisinya fleksibel sehingga gampang untuk diperkenalkan dengan beberapa bahasa,

f. Perkembangan bahasa manusia bukan lahir begitu saja (garaziy/instinctive), tetapi harus dibiasakan,

g. Karena bahasa adalah kebiasaan maka membiasakan anak-anak untuk berbahasa dengan beberapa bahasa sekaligus sejak dini lebih gampang dari pada ketika mereka sudah dewasa dimana kebiasaan berbahasanya sudah mapan dengan suatu bahasa tertentu dan susah diubah atau diperbaiki.[5]

Usia Yang Layak Untuk Belajar Bahasa Asin

Noam Chomsky, ahli bahasa kenamaan dari Amerika, mengatakan bahwa seorang anak tidak dilahirkan bak piring kosong atau tabula rasa. Begitu dilahirkan ia sudah dilengkapi dengan perangkat bahasa yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD). Perangkat LAD ini bersifat universal , dibawa anak sejak lahir , sehingga dapat dikatakan ia sudah dibekali pengetahuan tertentu tentang bahasa. Yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya hanyalah masukan guna mengaktifkan tombol-tombol universal itu. Sesungguhnya perangkat bahasa inilah yang memungkinkan seseorang memperoleh bahasa apa pun.

Pertanyaannya, kapankah usia ideal untuk belajar bahasa? Dalam hal ini, beberapa pakar bahasa merujuk pada tesis “semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu”. Misalnya, Mc Laughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Sama halnya juga dengan Biolinguist Eric H. Lennenberg yang berpendapat bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir otak anak lebih luntur, sehingga ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya ia akan makin berkurang dan pencapaiannya pun tidak maksimal.
Selanjutnya, Dr. Bambang Kaswanti Purwo, ketua program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dalam sebuah tulisannya yang bertajuk pengajaran bahasa inggris di SD dan SMP, menyebut bahwa usia 6-12 tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Alasannya, otak anak masih plastis dan lentur, sehingga proses penyerapan bahasa lebih mulus.
Namun, bukan berarti orang dewasa tidak mampu menguasai bahasa kedua (Bahasa Asing). Eric Lenneberg di lain sisi justru mengemukakan bahwa orang dewasa dengan intelegensia rata-rata pun mampu mempelajari bahasa kedua setelah usianya lebih dari 20 tahun. Bahkan ada yang mampu belajar berkomunikasi bahasa asing pada usia 40 tahun.
Kenyataan itu tidaklah bertentangan dengan hipotesis mengenai batasa usia untuk penguasaan bahasa karena penataan bahasa pada otak sudah terbentuk pada masa kanak-kanak. Hanya saja lewat masa pubertas terjadi “hambatan pembelajaran bahasa” (language learning blacks). jadi, maklum bila belajar bahasa setelah lewat masa pubertas, justru lebih susah daripada ketika usia 15  atau 5 tahun,”ujar Bambang.
Pada penguasaan bahasa pertama dikenal istilah, “masa kritis” pada penguasaan bahasa kedua (bahasa asing) terdapat istilah “masa peka”. Berdasarkan penelitian Patkowski, masa peka penguasaan sintaksis bahasa asing adalah masa sampai usia 15 tahun. Anak yang dihadapkan pada bahas asing sebelum usia 15 tahun mampu menguasai sintaksis bahasa asing seperti penutur asli. Sebaliknya, pada orang dewasa hampir tidak mungkin aksen bahasa asing dapat diketahui.[6]
Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12 tahunan anak mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa manapun yang disajikan padanya secara natif. Hal ini tampak terutama pada aksennya. Gejala ini dinyatakan dalam hipotese yang bernama Hipotese Umur Kritis (Critcal Age Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967). Pada esensinya hipotesis ini mengatakan bahwa antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan seorang penutur asli. Jadi, seandainya ada keluarga Amerika yang tinggal di Jakarta dan kemudian mereka melahirkan anak, dan anak itu bergaul dengan orang-orang indonesia sampai dengan, katakanlah, umur 5-7 tahun, dia pasti akan dapat berbahasa Indonesia Jakarta seperti anak Jakarta yang lain. Begitu juga sebaliknya: anak Indonesia yang lahir dan besar di New York dan bergaul dengan orang-orang New York anak berbicara bahasa Inggris New York seperti orang New York yang lain.
Hal seperti ini terjadi karena sebelum umur 12 tahun pada anak belum terjadi lateralisasi, yakni hemisfir kiri dan hemisfir kanan belum “dipisah” untuk di beri tugas sendiri-sendiri. Kedua-duanya masih lentur dan masih dapat menerima tugas apapun. Itu pulalah sebabnya mengapa orang yang kena stroke pada umur di bawah sekitar 12 tahun akan dapat pulih 100% dalam memperoleh bahasa sedangkan orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk sembuh total.
Setelah masa puber mulai, yakni umur 12 tahun, lateralisasi terjadi. Otak sudah tidak sefkeksibel seperti sebelumnya. Kemampuan untuk berbahasa seperti penutur asli sudah berkurang. VOT untuk bunyi Vois juga tidak akan akurat lagi. Hal-hal ini lah yang menyebabkan mengapa orang dewasa yang belajar bahasa asing akan hampir selalu kedengaran seperti orang asing, meskipun orang ini kemudian lama tinggal di negara di mana bahasa itu di pakai sehari-hari. Dia mungkin sekali akan dapat menguasai tatabahasanya dengan sempurna, tetapi aksen dia tetap akan kentara sebagai aksen asing.
Hipotesis umur kritis banyak di perbincangkan orang dan dianut banyak orang. Namun demikian, ada pula yang menyanggahnya. Krashen (1972), misalnya beranggapan bahwa literasi itu sudah terjadi jauh lebih awal, yakni sekitar umur 4-5 tahun.
Mengenai peran hemisfir dalam pemerolehan bahasa pertama maupun bahasa kedua terdapat perbedaan pendapat. Dari penelitian ada yang menemukan bahwa hemisfer kiri lebih banyak terlibat pada orang yanag bilingual sejak kecil daripada yang bilingual setelah dewasa (Genese dkk1978 dalam Steinberg dkk 2001: 329), penelitian Vaid (1987 dalam Steinberg 2001: 328) menunjukan hal yang sebaliknya. Dia dapati bahwa bilingual Perancis-Inggris yang mulai sejak umur 10-14 tahun malah banyak memakai hemisfir kiri dibandingkan dengan bilingual yang mulai sebelum umur 4 tahun.[7]





[1]Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal 55
[2]Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal 29-30
[3]http://anasholeha161.blogspot.co.id/2017/01/ketentuan-usia-yang-layak-untuk-belajar.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2017
[4]http://anasholeha161.blogspot.co.id/2017/01/ketentuan-usia-yang-layak-untuk-belajar.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2017

[5]http://nazrulahmad05.blogspot.co.id/2012/05/umur-yang-layak-dalam-pembelajaran.html?m=1 diakses pada tanggal 7 Maret 2017


[6]https://books.google.co.id=usia+yang+layak+untuk+belajar+bahasa+asing+menurut+para+ahli diakses tanggal 14 Maret 2017 pukul 09:52
[7]Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Cet II, Jilid II (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 218-219

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts