Saturday, February 2, 2019


Artikel ini adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan makna gagasan Roman Maghrebin dalam konteks Maroko. Ungkapan ini telah menjadi konsep yang dinamis sejak diciptakan oleh Khatibi pada 1960-an, dan telah berubah seiring dengan transformasi dalam masyarakat Maroko dan perkembangan genre. Sejak 1980-an, novel ini telah menjadi salah satu fenomena paling relevan di bidang budaya Maroko. Sudah menyadari sifat dinamis dari genre sastra dan budaya "nasional", wawasan visioner Khatibi (penulis novel) tampaknya mengandung semua elemen masa depan budaya Maroko. Dengan mengingat hal ini, penulis akan mengeksplorasi bagaimana novel dan perdebatan kritis di sekitarnya mencerminkan persepsi baru tentang ruang nasional pada abad ke-21.
Munculnya "Sastra Maroko" di masa kolonial (dan pasca-kolonial) terkait dengan proses historis yang ditandai oleh Pascale Casanova sebagai "hak atas keberadaan sastra". Di Maroko, fase awal ini terkait erat dengan bahasa Arab. Karya-karya pertama yang dikhususkan untuk Sastra Maroko dipahami sebagai sastra nasional (Arab), seperti al-Nubugh al-maghribi fi al-adab al-ʿarabi (Genius Maroko dalam Sastra Arab (1938) oleh Abdullah Kannun, dan tidak dapat dipisahkan dari program nasionalis dan gerakan anti-kolonial. Namun, mengikuti pendapat Casanova, penulis akan menunjukkan bagaimana dalam konteks Maroko, nasional dan sastra membentuk dunia perbatasan yang berubah, di mana batas-batas nasional dan ruang sastra tidak selalu cocok.
Sebagai tengara modernitas dan ciri khas kematangan sastra, novel ini dapat dipandang sebagai tanda karakteristik pembentukan konsepsi baru dunia. Menurut Mdarhri Aloui, novel di Maroko adalah "wahyu esensial" dari literatur abad kedua puluh, sedangkan menurut Khatibi itu adalah "kesaksian waktu". Lebih jauh, pengembangan novel ini menawarkan perspektif yang unik dan produktif ke dalam proses penciptaan dan penciptaan kembali sastra Maroko. Asal-usul novel mencerminkan evolusi, variasi, dan kompleksitas masyarakat Maroko: para penulis mulai memproduksi fiksi dalam bahasa Arab dan Prancis secara bersamaan di pertengahan abad ke-20, tetapi pada abad ke-21 adegan sastra menyaksikan kemunculan novel Amazigh (Berber), dan bahkan novel yang ditulis dalam bahasa Darija (Bahasa Arab Maroko), belum lagi banyak diaspora dan bahasa di mana orang Maroko telah aktif terlibat selama beberapa dekade. Novel ini juga berfungsi untuk menggambarkan "paradoks Maghrebian," status ambigu dan kontradiktif dari literatur Francophone: "baik pribumi maupun nasional". Mengutip penulis Maroko Youssouf Amine Elalamy, Valerie Orlando menyarankan bahwa novel di Maroko selalu mencerminkan jamannya.
Maghrebin Le Roman karya Khatibi juga memperkenalkan koordinat baru identitas dan analisis, menempatkan novel Maroko di ruang transnasional. Bagi Khatibi, Roman Maghrebin sebagian besar terkait dengan para penulis bahasa Prancis, sementara mereka yang menulis dalam bahasa Arab telah mengembangkan khususnya, puisi, esai dan cerita pendek.

REFERENSI
-          The Novel in Morocco as Mirror of a Changing Society karya Gonzalo Fernandez Parrilla.


Sejarah dan latar belakang
Bisa dikatakan bahwa sejarah kesusastraan Arab modern dimulai dari akhir perang dunia pertama, khususnya mulai dari tahun 1920, yaitu ketika lepasnya beberapa negara Arab dari pemerintahan kolonialisme. Seperti Irak pada tahun 1921, Mesir pada tahun 1923, Libanon pada tahun 1926 dan negara-negara Arab lainnya. [1] Sehingga pada awal perkembangannya, banyak terjadi gelombang migrasi orang-orang arab ke negara lain, seperti ke wilayah Amerika, Australia dan Eropa, begitu juga sebaliknya. Sehingga menimbulkan dilema seperti: Apakah sastra arab itu identik dengan karya sastra orang arab saja, atau karya sastra arab yang dihasilkan oleh orang non-arab ataukah karya sastra orang arab yang tinggal di negara non arab? 
Perbandingan
            Jika dibandingkan dengan masa klasik dan masa kebangkitan,  kesusastraan Arab pada masa modern lebih kaya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, tema-temanya juga lebih bervariasi. Karena pada masa Modern  orang Arab lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh eksternal, baik dari Timur maupun dari Barat.[2]
Adanya pengaruh-pengaruh tersebut menimbulkan berbagai aliran sastra, seperti romantisme,realisme, simbolisme, eksistensialisme, ekspresionalisme dan yang lainnya. Corak dan pengaruh ini tidak saja terlihat dalam subyek dan isinya, tapi juga dalam bentuk dan gayanya. Namun meskipun demikian, corak dan aliran sastra klasik pun masih terasa, meski secara bertahap mengalami penurunan.[3]
Karakteristik
Kesusastraan Arab modern bercermin pada suasana hidup yang kontemporer dalam semua aspeknya dan manifestasinya yang beraneka ragam. Baik prosa maupun puisi, keduanya memiliki alur perkembangan yang signifikan .
Prosa
Prosa pada masa modern lebih memperhatikan unsur pemikiran dari pada unsur gaya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa sebelumnya. Pemikirannya runtun dan sistematis, penulis tidak keluar dari satu gagasan ke gagasan yang lain, pendahuluannya tidak panjang-panjang, tema cenderung pada tema yang sedang terjadi pada masyarakat, seperti masalah politik, sosial dan agama.
Puisi
Pada masa modern, puisi bebas menjadi lebih populer, dengan panjang yang bervariasi dan rima yang tidak mengikuti pola tertentu. Lariknya semakin pendek hingga ada yang hanya menggunakan dua atau tiga suku kata.
            Selain tema lama yang masih ada dan masih dipakai sejak masa klasik, ada beberapa tema puisi baru yang muncul pada masa modern ini, seperti patriotik, kamasyarakatan, kejiwaan, puisi drama dan lain sebagainya. [4]

Sastra Arab Diaspora.
Dalam perkembangan sastra arab modern juga, muncul istilah sastra arab mahjar (diaspora), yakni sastra arab yang muncul dari sekelompok orang yang telah melalukan penyebaran di luar tanah airnya, atau sastra arab rantauan.[5]


[1]Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab; Asal Mula dan Perkembangan, (Jakarta; Zikrul Hakim 2002), hlm. 113.
[2]Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab; Asal Mula dan Perkembangan, (Jakarta; Zikrul Hakim 2002), hlm. 113.
[3]Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab; Asal Mula dan Perkembangan, (Jakarta; Zikrul Hakim 2002), hlm. 114-117).
[4] Males Sutiasumarga, Kesusastraan Arab; Asal Mula dan Perkembangan, (Jakarta; Zikrul Hakim 2002), hlm. 118-120).
[5]Ahmad Atho‟illah, Sejarah Perkembangan Masyarakat & Sastra Diaspora Arab-Amerika, (Adabiyyat), hlm. 197


Proses perkembangan kanon sastra di Maroko sangatlah berkaitan dengan kebangkitan nasional, bahkan karya-karya sastra yang muncul pun tidak bisa dipisahkan dari gerakan nasionalis dan gerakan anti kolonial. Upaya awal dan pemicu gerakan nasionalis di Maroko ini dimulai dengan “Berber Dahir” pada tahun 1930.

Beberapa tahun kemuadian, Abdallah al-Kannun untuk yang pertama kalinya menyusun seluruh sejarah sastra Arab di Maroko dalam karyannya  al-Nubugh al-Maghrib, fi’l adab al ‘arabi. (Genius Maroko dalam Sastra Arab). [1] Dengan tujuan untuk menarik perhatian pada tradisi sastra Arab yang panjang juga berlanjut di Maroko dan untuk menggarisbawahi kontribusi rakyatnya terhadap sastra Arab klasik dan warisan Islam.

Karya ini merupakan kontribusi  pertama kanon sastra nasional yang terisnpiirasi dari khutbah terkenal Thariq ibn Ziyad, sang  penakluk Andalus. Yang kemudian buku ini merupakan reaksi patriotik terhadap praktik kolonial dalam bidang studi sastra.

Meskipun sebenarnya, karya dengan tujuan macam serupa telah lebih dahulu muncul pada tahun 1929, yang ditulis oleh Muhammad ibnul Abbas dan Al Qabaj dengan judul antologi penyair arab Maroko.[2]

Kedua karya tersebut bertujuan menyoroti usaha Maroko dalam menekankan keberadaan tradisi yang panjang dalam melawan kebijakan kolonial secara simbolis. Meskipun kedua karya ini sempat dilarang beredar oleh otoriter perancis saat itu.

Kemudian pada tahun 1964 Kanuun kembali menerbitkan  al adab al Maghribi al hadith, sebagai monograf pertama yang mengatur katalog genre dan penulis, bersama dengan puisi, cerpen, artikel dan novel sebagai modalitas artistik yang menjadi ciri khas baru.

Hingga Akhirnya, para kritikus dan sejarawan sastra terus membuat kanon sastra untuk setiap genre, hingga semakin berkembang seperti sekarang.

Hal yang bisa disimpulan dari perjalanan singkat diatas adalah bahwa ide sastra nasional, serta identitas nasional secara umum, didefinisikan dan didefinisikan ulang dalam titik-titik sejarah tertentu oleh Negara-Bangsa modern, dengan mudah bergeser dari menjadi konseptualisasi menjadi kebiasaan, tradisi, bahkan lembaga yang mapan[3]




[1] Abdallah Kannun, al-Nubugh al-maghribi fi ’l-adab al-arabi, (Tetouan: al-Matbaah al-Mahdiyyah, 1938.) Cet. 1
[2] M. b. al-Abbas al-Qabbaj, al-Adab al-arabh fi ’l-Maghrib al-aqsa’, (Rabat: al-Maktabah al-Maghribiyyah, 1929.)
[3] Claudio Guillén, “Mundos en formación: los comienzos de las literaturas nacionales”. (Barcelona: Tusquets, (1998) Hlm.299

Menurut saya, baik Hamzah Fansuri yang notabene merupakan salah satu tokoh ulama sufi di Indonesia, maupun Sutardji Calzoum Bachri yang tidak lain adalah salah satu tokoh pembaharu dalam corak puisi di Indonesia, karya  keduanya memiliki karakteristik masing-masing. Karya-karya yang luar biasa dari keduanya tentunya menjadi panutan dan tolak ukur nilai keindahan seni puisi pada masanya.
            Setelah saya menemukan beberapa karya mereka berdua, saya memutuskan untuk lebih dalam lagi membaca salah satu karya mereka yakni ‘Syair si Burung Pingai’ karya Hamzah Fansuri dan ‘Bayangkan; untuk Salim Said’ karya Sutardji Calzoum Bachri (ada di lampiran). Kemudian dari hasil bacaan tersebut saya mencoba menyajikan hal-hal berikut ini sebagai kesimpulan;
            Puisi-puisi karya Hamzah Fansuri amat kental dengan nuansa ketuhanan dan keagamaan. Topik-topik yang dimasukan oleh Beliau pada karyanya adalah topik-topik yang berkaitan dengan ajaran, nasihat hidup, ilmu pengetahuan dan keyakinan. Sehingga hal yang saya rasakan ketika membaca puisi beliau adalah timbulnya ketentraman dan kedamaian hati karena ruh dan pesan yang ingin disampaikan sangatlah terpancar dengan jelas.
Adapun puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri sangatlah merepresentasikan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Tema-tema yang diangkat dalam setiap karyanya juga cenderung hal-hal yang sering kita jumpai di kehidupan nyata, namun dibalut dengan sentuhan logika berpikir yang liar dan cukup berani. Sehingga hal pertama yang saya rasakan ketika membaca puisi beliau adalah seolah munculnya kesegaran dalam diri saya seolah membuka hal-hal yang tadinya dianggap ragu, menjadi bebas untuk diekspresikan.
Terakhir, karya-karya dari kedua tokoh ini memiliki gaya dan karakteristik yang bisa dibilang bersebrangan. Namun bukan berarti tidak memiliki titik temu, karena sejatinya dalam karya-karya mereka berdua sama-sama memiliki pesan positif yang ingin disampaikan, meskipun, gaya penyampaian dan pilihan diksinya cukup berbeda.
Bagi saya, membaca kemudian membandingkan karya mereka berdua sungguh memiliki sensasi yang luar biasa.



BAYANGKAN
untuk Salim Said
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


direguknya
         wiski
            direguk
               direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
           di halaman
                 anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
   direguk
       direguknya wiski
            sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan




Syair Si Burung Pingai

Oleh :
Hamzah Fansuri


Hamzah sesat di dalam hutan
pergi uzlat berbulan-bulan
akan kiblatnya picek dan jawadan
inilah lambat mendapat Tuhan

Unggas pingai bukannya balam
berbunyi siang dan malam
katanya akal ahl al-alam
Hamzah Fansuri sudahlah kalam

Tuhan hamba yang punya alam
timbulkan Hamzah yang kalam
ishkinya jangankan padam
supaya warit di laut dalam

Popular Posts